wmhg.org – Pembelaan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi terhadap istri Kaesang Pangarep, Erina Gudono naik jet pribadi dengan dalih tengah hamil besar mendapat kritik tajam.
Pasalnya, banyak ibu hamil di luar sana yang justru tetap bekerja, bahkan berdesakan hanya untuk menggunakan transportasi umum.
Aktivis HAM Fatia Maulidiyanti bahkan meminta Erina untuk melihat realitas wanita pekerja yang tengah hamil tetap beraktivitas di Stasiun Manggarai. Mereka, ibu yang tengah mengandung anaknya berdesakan tempat duduk di gerbong yang dipenuhi penumpang lain.
Sorotan Fatia itu ia sampaikan dalam diskusi Marah-marah Kepada Private Jet dan Fufufafa di GuYoNan Cafe, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Fatia menunjuk slide yang tengah menampilkan foto kondisi di kereta.
Tuh liat. Erina lu liat nih, kata Fatia, Kamis (12/9/2024).
Ia kemudian mengkritik Budi Arie atas pembelaannya terhadap Erina. Ia sekaligus meminta Ketua Umum Projo tersebut untuk main ke Stasiun Manggarai demi menyaksikan langsung realitas kehidupan masyarakat, terutama ibu hamil.
Si Menkominfo itu, yang nggak penting itu orangnya, dia bilang ya kasihan lah dia trimester ketiga, ya nggak apa-apa lah naik jet pribadi. Lu main ke Manggarai hari ini sama gua nih di rush hour, lu liat orang-orang yang hamil gede nggak bisa mendapatkan transportasi yang nyaman, kata Fatia.
Menurut Fatia apa yang sekarang ditampilkan para anak dan mantu Presiden Jokowi justru memperlihatkan hidup bergelimang harta.
Jadi sebetulnya ini hanya gambaran kecil lah dari bagaimana mereka itu hidup di tengah kekayaan yang nyaman, karena jadi OKB kali ya tiba-tiba, kaya Fatia.
Bela Menantu Jokowi
Sebelumnya Pembelaan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi terhadap Erina Gudono yang naik privat jet ke Amerika Serikat membuat publik geram.
Pasalnya, Budi Arie membela menantu Presiden Joko Widodo tersebut dengan alasan bahwa Erina tengah hamil besar hingga tak bisa menggunakan pesawat komersil.
Pokoknya udahlah. Satu, istrinya Mas Kesang itu kan hamil sudah delapan bulan. Kan nggak boleh naik angkutan umum, pesawat umum, mana boleh, kata Budi Arie usai menghadiri rapat bersama Komisi I DPR di gedung MPR/DPR/DPD RI Senayan, Jakarta, pada Selasa (10/9/2024).
Pernyataan Budi Arie ini seolah menjadi ironi bagi ibu hamil di Indonesia lainnya yang harus susah payah mengakses fasilitas kesehatan. Bukan hanya itu, bahkan untuk keselamatan nyawa, angka kematian ibu masih tinggi. Hal ini berkaitan dengan sarana dan fasilitas kesehatan yang masih kurang.
Menyadur dari situs kemenkes.go.id, pada tahun 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa kematian ibu hamil terjadi hampir setiap dua menit, dengan sekitar 800 perempuan meninggal setiap hari karena penyebab yang dapat dicegah terkait kehamilan dan persalinan.
Di Indonesia, angka kematian ibu hamil mencapai 4.005 pada tahun 2022 dan meningkat menjadi 4.129 pada tahun 2023, menurut data Maternal Perinatal Death Notification (MPDN) dari Kementerian Kesehatan.
Dr. Gde Suardana, Sp. O. G., menjelaskan bahwa tingginya angka kematian ibu di Indonesia disebabkan oleh terlambatnya diagnosis dan rujukan ke fasilitas kesehatan yang memadai.
Terlambat menegakkan diagnosis itu menyebabkan dia (ibu hamil) datang ke fasilitas kesehatan dalam kondisi yang, istilahnya, kurang baik kondisinya,” kata Gde Suardana.
Keterlambatan deteksi kegawatdaruratan seperti preeklamsia dan eklamsia, serta pendarahan dan infeksi, berkontribusi signifikan terhadap kematian ibu hamil.
WHO merekomendasikan pemeriksaan kehamilan antenatal care (ANC) minimal delapan kali, sedangkan Kemenkes mengusulkan minimal enam kali, dengan tujuan untuk menurunkan angka kematian ibu.
Dokter spesialis menyatakan bahwa preeklamsia dan eklamsia, yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah, serta pendarahan adalah penyebab utama kematian ibu hamil.
Penanganan yang cepat dan akses ke fasilitas kesehatan yang dilengkapi dengan pelayanan obstetri neonatal darurat komprehensif (PONEK) sangat penting.
Kondisi keterlambatan dalam deteksi dan rujukan ini juga diperparah dengan kendala geografis seperti akses yang sulit di beberapa daerah.