wmhg.org – Dalam safarinya ke sejumlah negara Eropa, baru-baru ini Menteri Pertahanan sekaligus presiden Indonesia terpilih Prabowo Subianto mengunjungi Rusia. Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid menyebut langkah Ketum Partai Gerindra itu sebagai bagian dari strategi Good Neighbour Policy.
Prabowo sendiri dalam kesempatan sebelumnya ketika masih menjadi kandidat calon presiden juga sempat mengemukakan gagasan terkait Good Neighbour Policy sebagai taktiknya terkait kebijakan luar negeri.
Lalu apa itu Good Neighbour Policy?
Istilah Good Neighbour Policy atau Kebijakan Tetangga Baik, populer ketika diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat periode 1933-1945 Franklin Roosevelt.
Meski begitu, konsep ini pertama kali dikenalkan oleh Henry Clay seorang politikus abad ke-19.
Di masa pemerintahan Roosevelt, kebijakan ini dipakai untuk merangkul negara-negara di Amerika Latin.
Lewat kebijakan Good Neighbour Policy, Amerika berupaya menegaskan sikapnya sebagai tetangga yang baik bagi negara-negara di kawasan benua Merah julukan untuk benua Amerika.
Wujudnya yakni terlibat dalam hubungan timbal balik dengan negara-negara Amerika Latin.
Melalui strategi tersebut, pemerintahan Roosevelt berharap bisa menciptakan kesempatan ekonomi baru dalam bentuk perjanjian dagang yang saling menguntungkan dan memperkokoh pengaruh Amerika di kawasan Amerika Latin.
Namun, taktik yang ditebarkan Roosevelt tersebut di kemudian hari mendapat resistensi dari sejumlah negara Amerika Latin yang tak percaya dengan konsep yang diinginkan Amerika.
Kembali ke konsep Good Neighbour Policy yang ingin diusung Prabowo, mantan Danjen Kopassus tersebut berkeyakinan dengan menjaga hubungan baik antarnegara bisa memberikan energi positif bagi kepentingan nasional yang pada ujungnya membuat Indonesia bisa lebih disegani.
Tantangan Good Neighbour Policy
Mengutip dari ulasan di Kompas.com, diplomat senior Indonesia Dian Wirengjurit pernah mengulas bahwa politik luar negeri tetangga baik yang berprinsip pada millions of friends, zero enemy dinilai justru terlalu lembek dan sudah usang untuk diaplikasikan dalam kerasnya situasi hubungan internasional terkini.
Lewat artikel yang terbit pada 2014 bertajuk Cukup Sudah Plugri yang Gemulai, Dian meyakini Kebijakan Tetangga Baik atau Good Neighbour Policy justru mengabaikan konsep dasar politik khususnya bia dihadapkan pada realita politik global.
Pernyataannya itu mengacu pada Pertama; adagium di dunia politik dimana tak ada kawan abadi yang ada adalah kepentingan. Dimana dalam politik internasional, kepentingan yang diperjuangkan adalah kepentingan nasional.
Lalu Kedua; prinsip trust no one, dimana menurut Dian bila terlalu percaya dengan negara lain justru memiliki akibat yang sangat fatal.
Contoh nyatanya ketika Timor Timur lepas dari NKRI atas campur tangan Australia yang sebelumnya merupakan rekan kerja sama Indonesia untuk membangun negara yang kini bernama Timor Leste tersebut.
Kemudian Ketiga; who gets what, when, and how, dimana kerapkali politik memanfaatkan momen-momen oportunistik.
Lebih jauh menurut Dian bagaimanapun lingkungna yang nyaman tanpa musuh justru berpotensi membuat suatu negara terlena dan kurang proaktif dalam berinovasi dari sisi kebijakan luar negerinya.
Oleh karenanya, Indonesia perlu mempertimbangkan adanya rivalitas dalam konteks yang sehat dengan negara lain agar terbentuk kesan tegas terhadap suatu sikap politik dan merangsang munculnya terobosan baru dalam konsepsi kebijakan luar negerinya.