wmhg.org – JAKARTA. Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) di Gunung Sewu yang berada di Kabupaten Bantul dan Kabupaten Gunung Kidul, DIY Yogyakarta memiliki nilai ekonomi lingkungan hidup yang begitu besar.
Namun, karst ini terancam oleh beberapa faktor di antaranya pengurangan luasan kawasan karst hingga aktivitas pengerukan untuk pembangunan pariwisata yang tampak masif di kawasan tersebut.
Padahal karst terbentuk dari proses karsifikasi alam yang menyebabkan terbentuknya bukit-bukit akibat peresapan dan larutan air hujan pada lapisan batu gamping secara alami yang membutuhkan waktu hingga jutaan tahun.
Gunung Kidul memiliki KBAK yang paling besar dengan luasan mencapai 757,13 kilometer, wilayahnya antara lain Kecamatan Karangmojo, Nglipar, Paliyan, Panggang, Playen, Ponjong. Lalu, Purwosari, Rongkop, Girisubo, Saptosari, Semanu, Tanjungsari, Tepus dan Wonosari.
Dosen Program Studi Teknik Lingkungan UPN Veteran Jogja, Nandra Eko Nugroho mengatakan karst memiliki permukaan yang kering dan gersang. Namun, kata dia, di bawahnya mengandung cadangan air yang luar biasa.
“80% H2O (air) di Gunung Kidul itu diambil dari sumber mata air karst, tapi beberapa warga desa bilang karst itu nggak ada gunanya padahal (air) ngambilnya dari sana,” ujarnya dalam diskusi di Yogyakarta pekan lalu.
Nandra mengungkapkan, beberapa negara telah menyadari bahwa karst adalah media yang paling baik untuk menyerap emisi karbon. Dia mencontohkan, China telah menghentikan semua eksploitasi dan eksplorasi yang berhubungan dengan karst.
“Sementara di Indonesia mensyukuri datangnya investor (di kawasan karst),” ungkapnya.
Nandra menuturkan, gunung karst yang telah dikeruk apalagi untuk aktifitas pertambangan tidak bisa direklamasi. Tetapi, lanjut dia, masyarakat sebetulnya memiliki caranya sendiri demi memulihkan karst tersebut yakni dengan membuat terasering.
“Masyarakat Gunung Kidul itu sebenarnya melakukan praktek reklamasi (proses pengembalian lahan) secara alami ketika lahannya dipotong oleh tambang, itu dibuat terasering kemudian ditata batuan-batuan yang lepas tadi. Proses erosi dari atas lama kelamaan akan membuat lapisan barrier tanah (terarosa),” tuturnya.
Salah satu ancaman kawasan Karst di Gunung Kidul yakni rencana pembangunan Beach Club milik artis Raffi Ahmad yang kini telah dihentikan. Tak tanggung-tanggung dikabarkan pendirian tempat wisata itu bakal memakan 20 hektar di KBAK Gunung Kidul, di Pantai Krakal, Desa Ngestirejo, Kecamatan Tanjung Sari.
“Sebelum ada wacana Beach Club Raffi, Drini Park itu buktinya sudah memotong karst. Sebelum membangun kepentingan wisata, pihak-pihak terkait sudah paham apa itu eco tourism agar tidak merusak karst,” tandasnya.
Karst Punya Valuasi Ekonomi Besar
Ketua Umum Indonesian Speleological Society, Petrasa Wacana mengatakan bahwa kawasan karst di Gunung Kidul memiliki fungsi epikarst yang cukup tinggi, di mana fungsi ini untuk menyimpan air.
Dia menyoroti, masifnya pembangunan di kawasan karst yang belakangan terjadi memiliki risiko yang lebih besar ketimbang nilai pemanfaatannya.
“Nilai manfaat itu lebih besar daripada resiko yang diberikan ketika kawasan kars itu dihabiskan,” kata Petra.
Berdasarkan uji ilmiahnya, Petra membeberkan, total valuasi ekonomi lingkungan hidup KBAK Gunung Sewu mencapai Rp 1.684,96 triliun. Di mana nilai terbesar berada pada jasa penyedia air bersih yang mencapai Rp 1.403 triliun.
“(Nilai tersebut) yang dikupas lahannya bukan hanya untuk resort saja, tapi yang posisinya sudah ditambang. Itu kita data semuanya, kita hitung secara spasial. (Dari 757,13 Km KBAK) yang terpakai ada sekitar 10%-nya,” imbuh Petra.
Petra menyebutkan, isu pengurangan KBAK di wilayah Gunung Kidul ini bakal mempermulus jalan bagi investor pertambangan dan pada akhirnya memperparah kondisi bentang alam karst di wilayah itu.
“Ketika KBAK-nya dikurangi saya yakin itu bukan urusan wisata, itu urusan tambang nggak jauh dari itu,” sebutnya.
Lebih lanjut, Petra menambahkan, bila pemerintah bisa mempertahankan kondisi eksisting KBAK Gunung Sewu saat ini, maka valuasi ekonominya bakal meningkat yang ditaksir mencapai Rp 2.396 triliun di 2029.
“Sampai di 2045 kalau kita merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) itu bisa sampai di atas Rp 7.399 triliun,” terangnya.
Bahkan, kata Petra, bila karst ini mampu dikelola dengan baik maka komitmen pemerintah terhadap kebijakan karbon mampu mendatangkan pendanaan yang baik pula.
“Nah Indonesia belum sampai sejauh itu, di berbagai negara itu ada, dia mendapat pendanaan dari mempertahankan kawasan karstnya,” pungkasnya.