wmhg.org – JAKARTA. Sejak Maret 2024, harga kopi robusta terus merangkak naik. Bahkan, kini mencapai rekor tertingginya pada Agustus 2024 dengan kisaran US$ 4.066-US$ 4.173 per ton, atau sekitar Rp 67,5 juta per ton.
Kenaikan harga kopi robusta disebabkan pasokan dari kebun yang terus merosot. Bahkan, World Coffee Research memproyeksikan dunia bisa kekurangan kopi robusta hingga 35 juta kantong pada tahun 2040.
Meski sebagai salah satu negara produsen kopi, produksi kopi Indonesia justru terus menurun dalam beberapa tahun terakhir. Adapun salah satu penyebabnya adalah terdampak perubahan iklim.
Siswanto, Peneliti Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengungkap, pengaruh parameter iklim terhadap tanaman kopi. Pertumbuhan kopi arabika sangat sensitif terhadap perubahan suhu dan kekeringan.
Jenis kopi arabika umumnya lebih toleran dengan kondisi curah hujan yang tinggi. Pasalnya, kopi jenis ini melakukan penyerbukan sendiri.
Sementara pada jenis robusta lebih cocok ditanam di daerah dengan iklim kering yang dominan. Sebab, penyerbukan kopi robusta dilakukan dengan persilangan yang dipengaruhi kondisi angin dan cuaca lainnya.
Jika iklim agak kering, maka biasanya pertumbuhan biji akan lebih besar. Namun jika kondisi kering tersebut sudah terlampau parah, biji kopi justru akan tumbuh semakin kecil, kata Siswanto kepada KONTAN, Selasa (24/9/2024).
Menurut dia, dibutuhkan kondisi hujan yang stabil untuk mendapatkan ukuran biji kopi yang baik. Di kawasan yang terlalu basah dan tidak ada matahari, biji kopi juga tidak bisa tumbuh dengan baik, karena proses fotosintesis tanaman membutuhkan cahaya matahari.
Yang terang, peningkatan suhu global dan perubahan iklim juga berdampak buruk pada tanaman kopi. Dalam beberapa tahun terakhir, perubahan iklim telah membuat tanaman kopi semakin sulit tumbuh di banyak daerah.
Siswanto memaparkan, perubahan iklim yang terjadi di belahan dunia saat ini sangat berimbas pada kondisi kopi di seluruh dunia. Negara-negara Amerika Latin merasakan dampak yang cukup serius bagi produksi kopi di daerahnya. Indonesia mungkin sedikit beruntung karena tak separah yang ada di daerah Amerikam, sebutnya.
Namun, sejumlah kejadian mungkin bisa dijadikan pelajaran. Beberapa waktu lalu di Aceh dihasilkan biji kopi yang melompong. Hal ini terjadi juga akibat kondisi perubahan iklim yang juga sudah dirasakan di Tanah Air, ungkapnya.
Bahkan, sejumlah efek buruk yang diperkirakan dampak dari perubahan iklim mulai terjadi di Provinsi Aceh, wilayah yang terkenal sebagai produsen kopi di Indonesia. Efek buruk itu, di antaranya, ialah kualitas panen menurun, suhu meningkat, kekeringan, hingga bencana alam.
Di Aceh, data BMKG Stasiun Meteorologi Sutan Iskandar Muda dalam 30 tahun terakhir menunjukkan laju peningkatan suhu udara 0,3 derajat celcius per 10 tahun. Dari 15 stasiun pencatat suhu BMKG di Sumatra, tren kenaikan suhu permukaan tertinggi 0,36 derajat celcius per dekade tercatat di Stasiun Meteorologi Dabo, Kepulauan Riau dan Stasiun Meteorologi Syarif Kasim II Bandar Udara Pekanbaru, Riau.
Lima kota besar utama di Sumatera, yakni Banda Aceh, Medan, Pekanbaru, Padang dan Bandar Lampung mengindikasikan tren kenaikan >0.2 derajat celcius per dekade. Tren kenaikan terendah tercatat di Stasiun Meteorologi FL Tobing, Sumatera Utara, yaitu 0,18 derajat celcius per dekade, terang Siswanto.
Untuk diketahui, Indonesia memiliki banyak ragam kopi mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Flores, Sulawesi, hingga Papua. Dengan kapasitas produksi mencapai 770.000 ton per tahun, Indonesia menduduki peringkat nomor empat di dunia di bawah Brasil, Vietnam, dan Kolombia.
Indonesia memiliki 13 sentra produksi kopi yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Lima sentra produksi utama kopi Indonesia di antaranya berada di Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Lampung, Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Aceh, dan Provinsi Jawa Timur. Sentra produksi terbesar berada Provinsi di Sumatera Selatan dengan tingkat produksi mencapai 184.168 ton atau 25,8% dari total produksi Indonesia.