wmhg.org – JAKARTA. Pemerintahan era Joko Widodo akan segera berakhir kurang dari satu bulan. Namun, Jokowi masih memiliki sejumlah pekerjaan rumah yang akan dibebankan pada pemerintahan Prabowo Subianto mendatang.
Dua dari beragam kebijakan warisan Jokowi yang bakal dieksekusi Prabowo adalah pembatasan konsumsi BBM bersubsidi dan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12%.
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky mengatakan beberapa kebijakan yang tertunda atau terjadwal mulai tahun 2025 memang bisa disebut bola panas yang dioper Jokowi kepada Prabowo.
Selain pembatasan BBM subsidi dan PPN 12%, juga akan mulai dikenakannya PPN atas beberapa transaksi yang sebelumnya tidak ada atau ditanggung pemerintah (DTP), ungkap Awalil kepada Kontan, Senin (30/9).
Awalil mencermati penyebab utamanya adalah ruang fiskal yang sempit. Laju kenaikan pendapatan yang tak sesuai harapan, serta lebih lambat dari laju belanja, berakibat defisit yang makin lebar. Secara teoritis, untuk mengatasinya ada dua pilihan kelompok kebijakan.
Pertama, mengupayakan kenaikan pendapatan yang lebih signifikan. Contohnya ya tadi dengan kenaikan tarif PPN dan pengenaan pajak atas beberapa transaksi yang sebelumnya tak dipajaki atau ditanggung pemerintah.
APBN 2025 mengisyaratkan akan hal ini. Target kenaikan pendapatan 2025 sebesar 7,25% dibanding outlook 2024. Padahal laju kenaikan hanya sebesar 5,62% pada 2023. Khusus target penerimaan perpajakan 2025 juga ditargetkan cukup tinggi, naik 9,70%. Padahal kenaikan tahun 2024 diperakirakan hanya 2,98% dan pada 2023 tercatat sebesar 5,88%.
Lebih tampak lagi pada target kenaikan Pajak Pertambahan Nilai dan PPnBM yang sebesar 15,37%. Padahal kenaikan 2024 hanya akan 7,28% dan tahun 2023 sebesar 11,06%, artinya akan ada upaya lain, ya seperti disebut di atas, jelasnya.
Kedua, mengendalikan belanja dan pengeluaran (pembiayaan). Upaya ini tak mudah dilakukan karena beban politis tahun pertama yang perlu populis. Ada beberapa program prioritas (quick win) yang setahun mesti ditunjukkan, dan butuh biaya. Sementara hanya Rp 121 triliun, tapi sangat mungkin bertambah dalam perjalanan setahunnya.
Cara pengendalian belanja yang tampak lebih mudah adalah mengurangi subsidi, khususnya subsidi energi. Namun, ini berisiko politis yang besar juga bagi pemerintahan baru. Di samping itu, ada kondisi daya beli masyarakat, termasuk kelas menengah yang sedang merosot.
Pengurangan subsidi mungkin akan menekannya lagi. Dan jangan lupa kebijakan menaikkan PPN atau mengenakan pada transaksi baru dan mengurangi yang ditanggung pemerintah pun akan berdampak pada daya beli masyarakat.
Andai langkah itu berhasil pun, pemerintah terpaksa merencanakan berutang yang lebih besar, hingga Rp 776 triliun, ujarnya.
Menurut Awalil seharusnya pemerintahan Prabowo lebih realistis dalam hal fiskal. Selain itu juga lebih baik menimbang jangka menengah, lima tahun ke depan, daripada memaksakan quick win yang sangat memberatkan fiskal. Begitu pula, waktunya sangat tidak tepat untuk buru-buru mengurangi subsidi, menaikkan tarif PPN, dan mengenakan PPN atas banyak transaksi.
Awalil menambahkan, lebih baik pemerintah mendatang melakukan reformasi belanja secara mendasar dan menyeluruh berorientasi jangka menengah. Nilai belanja dan pengeluaran (pembiayaan) tidak harus meningkat, asal dilakukan perbaikan dalam hal output, outcome dan impact dari belanja dan pengeluaran.
Menurutnya juga perlu dilakukan spending review atas APBN 2025 secara serius dan melibatkan pihak ahli dan independen untuk memberi masukan. APBN Perubahan dapat diajukan sejak awal tahun dan ditetapkan bulan Februari-Maret. Konsepnya dipersiapkan sejak November-Desember.
Begitu pula dalam hal pendapatan, apalagi konon akan dibentuk Badan atau Kementerian khusus terkait penerimaan negara. Jangan cuma organisasinya yang baru, melainkan konsepnya yang harus berubah signifikan dibanding dahulu, ucapnya.