wmhg.org – JAKARTA. Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) kini resmi diperluas tugasnya untuk mengelola pungutan bagi komoditas perkebunan lainnya seperti kakao dan kelapa.
Dengan perluasan fungsi ini, BPDPKS berubah nama menjadi Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP).
Kepala Divisi Perusahaan BPDP, Achmad Maulizal, mengungkapkan bahwa pihaknya masih menunggu arahan lebih lanjut dari pemerintah terkait waktu dimulainya pungutan komoditas baru tersebut.
Selain itu, besaran pungutan untuk masing-masing komoditas juga masih dalam tahap pembahasan lintas kementerian dan lembaga.
“Belum ada (pungutan) karena seperti kita ketahui Perpres baru saja keluar dan masih dilakukan pembahasan lanjutan,” kata Achmad kepada Kontan.co.id, Minggu (27/10).
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono menyampaikan dukungannya atas transformasi BPDPKS ini.
Namun, ia mengingatkan pentingnya tata kelola kelembagaan yang baik agar tujuan pengelolaan dana tetap fokus.
Eddy menegaskan agar dana pungutan kelapa sawit tetap difokuskan pada kebutuhan industri sawit.
“Industri kelapa sawit masih menghadapi tantangan besar, termasuk produksi yang stagnan dan produktivitas yang menurun. Permintaan minyak sawit mentah (CPO) dalam negeri juga meningkat seiring ambisi swasembada energi dari sawit,” ujar Eddy.
Dukungan serupa juga datang dari Ketua Harian Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (HIPKI), Rudy Handiwidjaja.
Rudy berharap perubahan ini dapat memberikan perhatian lebih terhadap komoditas kelapa, layaknya yang sudah diberikan pada industri kelapa sawit.
Meski demikian, ia berharap agar produk kelapa yang sudah dikonsumsi, seperti santan, dessicated coconut, minyak goreng kelapa, karbon aktif, dan air kelapa, tidak dikenakan pungutan ekspor.
“Produk turunan yang sudah dikonsumsi sebaiknya tidak dikenakan pungutan ekspor apa pun,” ujar Rudy.
Ia menambahkan bahwa produk yang layak dikenakan pungutan sebaiknya hanya pada produk setengah jadi seperti arang dan tempurung.
Perubahan fungsi BPDPKS menjadi BPDP ini tertuang dalam Peraturan Presiden No. 132 Tahun 2024 yang ditandatangani oleh Presiden RI ke-7, Joko Widodo, pada 18 Oktober 2024, atau dua hari sebelum masa jabatannya berakhir.
Menurut beleid tersebut, dana yang dihimpun oleh BPDP akan bersumber dari pelaku usaha perkebunan, lembaga pembiayaan, dana masyarakat, dan sumber sah lainnya.
Dana dari pelaku usaha mencakup pungutan ekspor hasil perkebunan serta iuran.
Dengan perubahan ini, diharapkan BPDP dapat mengoptimalkan pemanfaatan dana pungutan untuk mendukung pengembangan komoditas perkebunan di Indonesia.