wmhg.org – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mengalokasikan APBN untuk sektor kesehatan sekitar Rp217,3 triliun untuk tahun anggaran 2025. Anggaran itu mencapai 6 persen dari total APBN 2025, meski mandatory spending atau kewajiban alokasi anggaran untuk kesehatan telah dihapus dalam UU Kesehatan No 17 Tahun 2023.
Dari total anggaran tersebut, Rp129,8 triliun di antaranya diberikan kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Aji Muhawarman mengungkapkan, Kemenkes pusat hanya akan mengelola Rp105,6 triliun, sementara Rp24,2 triliun sisanya dialokasikan untuk pemerintah daerah (pemda) dalam bentuk dana alokasi khusus fisik dan nonfisik.
“Dengan adanya alokasi sebesar 6 persen ini, tentunya pemerintah berkomitmen untuk mengelolanya secara efektif dan efisien bagi peningkatan kualitas dan akses layanan kesehatan,” kata Aji dalam keterangannya kepada wartawan, Senin (4/11/2024).
Dana tersebut akan digunakan untuk mendukung berbagai program unggulan Presiden Prabowo dalam mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang sehat dan produktif, serta agenda transformasi kesehatan.
Adapun, program percepatan dalam bidang kesehatan yang dilaksanakan mulai tahun 2025 di antaranya, pemeriksaan kesehatan gratis, penurunan kasus Tuberkulosis, dan Pembangunan rumah sakit di Daerah kelas D atau D pratama menjadi kelas C.
Program strategis Kemenkes lainnya, percepatan penurunan stunting melalui pemberian makanan bergizi bagi ibu hamil atau menyusui dan balita, serta pengendalian penyakit menular seperti malaria dan AIDS.
Anggaran kesehatan 2025 itu juga harus mencakup penguatan akses dan layanan kesehatan di seluruh daerah, seperti peningkatan program JKN, penyediaan sarana dan prasarana, serta memperkuat kemandirian industri farmasi dalam negeri.
Untuk mendukung berbagai program strategis tersebut, pemerintah juga mengalokasikan dana untuk pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan. Peningkatan kapasitas dan keterampilan SDM kesehatan untuk meningkatkan kualitas dan distribusi SDM kesehatan yang lebih merata.
“Dengan adanya anggaran kesehatan yang lebih besar diharapkan Indonesia dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan,” ujar Aji.
Sebelumnya diketahui, bahwa mandatory spending dihapus dari UU Kesehatan karena pemerintah dan DPR ingin mengubah paradigma belanja kesehatan dari kewajiban alokasi anggaran harus dihabiskan apa pun belanja kesehatannya menjadi program kesehatan berbasis kebutuhan.
“Sebelum UU Kesehatan, program disusun berdasarkan paradigma bagaimana membelanjakan 5 persen kewajiban alokasi anggaran kesehatan. Sehingga ada kecenderungan program dibuat-buat yang penting anggaran terbelanjakan. Contohnya anggaran stunting dipakai untuk renovasi pagar Puskesmas. Ini tidak efisien dan tidak tepat sasaran,” jelasnya.
Menurutnya, dalam paradigma baru, anggaran dibuat berdasarkan kebutuhan dan program yang akan dijalankan sehingga lebih tepat sasaran.