wmhg.org – JAKARTA. Wakil Menteri Keuangan, Thomas Djiwandono belum lama in menegaskan bahwa Badan Pengelola (BP) Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) belum akan diluncurkan pada Januari 2025. Penyebabnya, n Presiden Prabowo Subianto menginginkan regulatory framework yang harus lebih jelas.
Ini lebih karena memang Pak Presiden merasa bahwa oke kita kelihatannya masih belum regulatory frameworknya harus lebih jelas, ujar Thomas, belum lama ini.
Terkait hal itu, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Wihana Kirana Jaya, menyoroti pentingnya menarik foreign direct investment (FDI) sebagai salah satu cara mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Target ambisius tersebut membutuhkan dukungan institusi yang kuat, termasuk Danantara.
Hal senada ditegaskan Wakil Rektor III Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdusalam. Menurutnya, pendirian Danantara baik, agar aset-aset negara dapat dikelola lebih optimal. Harapannya tentu badan yang baru ini bisa membuktikan hasilnya bahwa aset-aset negara bisa dikelola dan menguntungkan
Wihana menegaskan, Danantara sangat relevan menghadapi fenomena mega shifting ekonomi global. Perubahan struktural besar yang terjadi, seperti geopolitik, geoekonomi, dan perang, telah memaksa negara-negara melakukan reposisi strategis, termasuk dalam kebijakan investasi.
“Kita harus mengantisipasi masa depan dengan mengubah organisasi dan proses bisnis. Danantara adalah langkah strategis untuk meningkatkan fleksibilitas pembiayaan investasi jangka panjang,” ujar Wihana, dalam keterangannya, Selasa (21/1).
Baca Juga: Investor Asing Getol Lepas Saham Big Cap Perbankan, Simak Rekomendasi Analis .
'Terkait kebutuhan akan BP Danantara, Wihana berpendapat bahwa badan ini diperlukan untuk meningkatkan fleksibilitas dalam mengelola aset dan pembiayaan investasi. BP Danantara dirancang untuk memanfaatkan aset-aset negara yang besar guna meningkatkan kapasitas investasi melalui tiga platform utama: Indonesia Investment Authority (INA), lembaga-lembaga keuangan pemerintah, dan manajemen aset.
“BP Danantara ini bagus karena mampu meleverage aset pemerintah untuk investasi yang panjang. Dengan fleksibilitas ini, kita bisa membuka peluang lebih besar bagi investor, terutama FDI,” jelas Wihana.
Surokim mengingatkan, pembentukan lembaga negara baru seperti Danantara jangan sampai mengulang kesalahan sebelumnya yang hanya justru memboroskan anggaran namun hasilnya kurang dari harapan.
Jangan sampai negara kita terlalu banyak pos yang acap kali hanya sebagai konsesi politik balas jasa dan hanya menghabiskan anggaran. Karena sebenarnya semua tugas sudah ada bagiannya masing-masing yang mengerjakan, tinggal bagaimana pemerintah mengontrol kinerja orang-orang yang bertangung jawab pada bidangnya, termasuk aset negara ini, tuturnya.
Menurut Wihana, peluang utama dari pembentukan BP Danantara adalah kemampuannya mengelola aset-aset BUMN, dengan potensi dana kelolaan awal mencapai US$ 600 miliar atau Rp 9.520 triliun. Dengan mengelola aset dari tujuh BUMN besar, termasuk Bank Mandiri, BRI, dan PLN, BP Danantara dapat menjadi katalis utama untuk investasi langsung, baik domestik maupun asing.
Namun, hambatan juga tidak bisa diabaikan. Dalam jangka pendek, tantangan terbesar adalah menciptakan regulasi yang mendukung, transparansi pengelolaan aset, dan memastikan bahwa investasi yang dilakukan sejalan dengan prioritas pembangunan nasional.
“Selain itu, ada risiko geopolitik dan fluktuasi ekonomi global yang perlu diantisipasi. Kita juga harus memastikan bahwa investasi yang masuk tidak hanya mengejar keuntungan jangka pendek, tetapi juga memberikan dampak ekonomi jangka panjang,” kata Wihana.
Pembentukan BP Danantara yang segera dan terarah dapat menjadi langkah penting untuk memastikan Indonesia mampu mencapai target ambisiusnya. Keberhasilan badan ini akan sangat bergantung pada keseriusan pemerintah dalam menyusun regulasi dan memastikan implementasinya berjalan sesuai rencana.