wmhg.org – JAKARTA. Harga minyak global kembali meningkat, pasca eskalasi konflik yang memanas di Timur Tengah akibat Israel vs Iran telah mendongkrak harga minyak mentah dunia.
Dalam sepekan, harga West Texas Intermediate (WTI) dan Brent kompak menanjak lebih dari 9%. Merujuk Trading Economics, dalam sepekan terakhir harga WTI mengakumulasi kenaikan 9,09% ke level US$ 74,38 per barel hingga Minggu (6/10). Pada periode yang sama, harga Brent menguat 9,10% ke posisi US$ 78,05 per barel.
Senior Ekonom Bank Permata, Faisal Rachman, memperkirakan, apabila tensi geopolitik Iran dan Israel persisten sampai dengan akhir tahun, maka akan ada tekanan impor karena naiknya harga minyak.
“Oleh sebab itu tentu defisit neraca migas (minyak dan gas) berisiko semakin melebar,” tutur Faisal kepada Kontan, Minggu (6/10).
Untuk diketahui, neraca perdagangan migas mencatatkan defisit sebesar US$ 1,44 miliar, dengan komoditas penyumbang defisit neraca perdagangan migas adalah hasil minyak dan minyak mentah.
Sejalan dengan itu, tren nilai tukar rupiah juga mengalami pelemahan. Nilai tukar rupiah melemah dalam sepekan terakhir. Pada Jumat (4/10) lalu, kurs rupiah spot melemah 2,27% sepekan menjadi Rp 15.485 per dolar Amerika Serikat (AS).
Faisal menyebut, kenaikan harga minyak saat ini dan juga pelemahan rupiah dikarenakan faktor meningkatnya kembali tensi geopolitik di Timur Tengah. Selain itu, Rupiah juga tertekan karena data-data pasar tenaga kerja AS yang cukup solid pada minggu lalu, sehingga menantang ruang penurunan suku bunga The Fed ke depannya.
Meski harga minyak naik, tetapi masih di bawah asumsi APBN 2024 yang sebesar US$ 82 per barel. Ia menyebut, tekanan akan lebih datang dari sisi melemahnya kembali rupiah.
“Impor sejalan dengan resiliensi ekonomi domestik diprediksi tetap tumbuh relatif kuat di tahun ini sehingga memang dari awal kami sudah lihat surplus neraca dagang cenderung akan terus menyusut ke depannya,” ungkapnya.
Meski begitu, Faisal memperkirakan, nilai tukar rupiah masih berpeluang menguat jika tensi geopolitik di Timur Tengah bisa diredam, pun jika data-data ekonomi AS ke depan masih bisa mengindikasikan untuk The Fed melakukan pemotongan suku bunga kebijakannya sehingga dapat memicu risk-on sentimen.
Selain kondisi geopolitik di Timur Tengah, serta kondisi ekonomi AS yang berpengaruh pada suku bunga kebijakan The Fed, “hal lain yang perlu diwaspadai adalah pelemahan ekonomi China yang berkepanjangan serta dinamika politik di AS sampai dengan hasil pemilunya di November nanti,” tambahnya.