wmhg.org – JAKARTA. Porsi kepemilikan asing pada Surat Berharga Negara (SBN) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) mencapai 41,5% pada September 2024. Perinciannya, porsi kepemilikan asing pada SBN sebesar 14,71% dan SRBI sebesar 26,79%.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai idealnya kepemilikan sing pada SBN maupun SRBI tidak lebih dari 25% dari total outstanding utang. Hal itu karena akan ada konsekuensi jika terjadi gejolak ekonomi atau terjadi sudden shock, maka capital reversal atau pembalikan dana asing itu bisa melemahkan nilai tukar rupiah.
Misalnya terjadi gejolak geopolitik, kemudian ada fluktuasi harga komoditas yang cukup ekstrim, maka dana asing yang akan keluar menjual surat utang itu bisa berpengaruh terhadap rupiah kita bisa melemah dan juga bisa berpengaruh pada defisit misalnya di neraca pembayaran, jelas Bhima kepada Kontan, Senin (30/9).
Menurut Bhima surat utang yang terlalu besar kepemilikannya pada asing di satu sisi juga berdampak pada bunga yang dibayar akan jauh lebih mahal. Hal itu karena ada selisih kurs rupiah terhadap dolar.
Selain itu ketika kepemilikan asing pada SRBI saat ini 26,7% sebelum pandemi memang asing sempat jauh lebih tinggi yaitu 37% terhadap total utang.
Bhima mengatakan artinya memang ada penurunan, meski saat ini sudah mulai meningkat lagi kepemilikan asingnya dan itu yang perlu tetap diperhatikan secara hati-hati.
Karena bagaimanapun bentuk dari surat utang ini jauh lebih berisiko dibandingkan pinjaman kepada asing yang sifatnya pinjaman bilateral atau multilateral karena bunganya juga lebih kecil, ujarnya.
Bhima menegaskan pemerintah baik itu Kementerian Keuangan maupun Bank Indonesia juga harus memperhatikan bahwa semakin tinggi kepemilikan asing di instrumen SBN maupun SRBI ini bisa menjadi trade off terhadap maksudnya investasi di sektor-sektor usaha yang lebih produktif.
Hal itu karena lebih banyak investor asing yang tertarik menempatkan dana di portofolio surat utang dibandingkan investasi secara riil yang sebenarnya dibutuhkan Indonesia.
Saat ini yang benar-benar dibutuhkan adalah investasi secara riil seperti membangun pabrik, investasi langsung, FDI yang bisa mendorong serapan tenaga kerja dan memperkuat industrialisasi, ungkapnya.
Sementara Vice President Infovesta Utama Wawan Hendrayana mencermati saat ini sebenarnya porsi kepemilikan asing pada SBN maupun SRBI ini sudah mengalami penurunan. Sebelumnya Wawan mencatat porsi kepemilikan asing ini mencapai 50%.
Artinya lebih banyak SRBI dan SBN yang dibeli oleh investor dalam negeri, asing sendiri akan masuk bila dianggap yield menarik dan fundamental ekonomi serta politik mendukung, jelas Wawan.
Wawan menambahkan, pada periode sebelumnya ketika asig masih mendominasi maka pergerakan harga dan volatilitas SBN relatif besar. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lalu mengeluarkan peraturan yang mewajibkan investor institusi seperti Dapen, asuransi dan BPJS untuk memiliki SBN sesuai batasan minimal yang diberikan.
Hal lain juga penerbitan obligasi korporasi yang menurun saat suku bunga tinggi membuat kebutuhan SBN meningkat, mengakibatkan volatilitas harga dan yield SBN tidak setinggi berikutnya, ucapnya.