wmhg.org – JAKARTA. Pertumbuhan ekonomi China diprediksi akan mengalami perlambatan hingga tahun 2029 mendatang. Hal itu dinilai akan berdampak cukup serius pada neraca perdagangan Indonesia.
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira melihat dampak dari perlambatan ekonomi China dan proyeksi meningkatnya tarif masuk terhadap produk-produk asal China di era Donald Trump akan berdampak cukup serius terhadap neraca dagang Indonesia. Pasalnya, selama ini China adalah negara yang cukup besar porsi dari perdagangan dengan Indonesia baik ekspor maupun impor.
Tentu dari sisi ekspor beberapa produk seperti nikel, olahan-olahan dari nikel, feronikel, nikel pick iron yang menjadi bahan baku utama untuk stainless steel di China, begitu terjadi perlambatan ekonomi maka menurunkan kapasitas produksi industri manufaktur, jelas Bhima kepada Kontan, Jumat (8/12).
Kemudian penjualan retail juga melemah hingga adanya perlambatan penjualan kendaraan listriknya, maka implikasinya adalah permintaan produk-produk Indonesia dalam rantai pasok China ini juga akan menurun. Bhima menyebut ini akan berpengaruh pada harga nikel.
Tak hanya itu, pengaruhnya juga akan merembet terhadap kontrak-kontrak baru termasuk batubara, gas, dan komoditas-komoditas yang dibutuhkan untuk bahan baku industri. Sehingga pada akhirnya dapat mengurangi surplus neraca perdagangan Indonesia secara total.
Sehingga surplusnya bisa menurun bahkan tahun 2025 tanpa antisipasi yang berarti itu bisa membuat Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan, ujarnya.
Selain itu Bhima mengatakan produk-produk seperti sawit ataupun hasil perkebunan karet yang di ekspor ke China itu juga terdampak. Hal itu juga akan berkaitan dengan masalah devisa stabilitas nilai tukar rupiah juga akan terpengaruh.
Tentunya juga pada serapan tenaga kerja yang ada di Indonesia terutama di industri dan perkebunan, ungkapnya.
Bhima melihat perlu adanya sejumlah strategi yang mulai dipersiapkan oleh pemerintah. Khususnya dengan kondisi ekonomi China melambat bahkan pertumbuhannya sampai 2029 diperkirakan akan dibawah 4% dimana akan lebih rendah bahkan daripada ekonomi Indonesia.
Menurut Bhima, pemerintah ke depannya dapat mengalihkan sebagian produk yang diekspor ke China ke negara-negara ASEAN seperti Vietnam, Thailand, Malaysia, Kamboja. Kemudian juga dapat mulai dialihkan ke pasar yang lebih potensial seperti di Timur Tengah khususnya negara-negara yang relatif tidak terlalu banyak terpengaruh oleh perang seperti Arab Saudi dan Turki.
Selain itu juga diperlukan diplomasi dagang, sehingga Indonesia bisa mendapatkan fasilitas perdagangan untuk masuk ke negara-negara alternatif dengan tarif yang lebih rendah, tandasnya.