wmhg.org – Hengki Kegou, putra asli Nabire yang baru saja terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Provinsi Papua Tengah, menggelar acara syukuran atas pelantikannya untuk periode 2024-2029.
Acara tersebut berlangsung pada Sabtu, 9 November 2024, di halaman rumahnya di Yaro 1, Kabupaten Nabire, Provinsi Papua Tengah.
Hengki yang merupakan wakil rakyat dari daerah pemilihan Kabupaten Nabire ini maju melalui Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan terpilih dalam Pemilu Februari 2024 lalu.
Dalam syukuran tersebut, hadir mantan Bupati Nabire Mesak Magai yang saat ini maju sebagai calon Bupati Nabire dengan nomor urut 02, berpasangan dengan Burhanudin Pawennari. Acara tersebut juga dihadiri oleh sejumlah undangan serta simpatisan.
Provinsi Papua Tengah yang baru dibentuk ini terdiri dari delapan kabupaten: Nabire, Dogiyai, Deiyai, Paniai, Puncak, Puncak Jaya, Intan Jaya, dan Mimika. Jumlah anggota DPR Papua Tengah yang resmi dilantik pada 6 November 2024 lalu mencapai 40 orang, salah satunya adalah Hengki Kegou.
Dalam sambutannya, Hengki mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan dan berterima kasih kepada masyarakat Nabire yang telah mendukungnya.
Ia juga menegaskan komitmennya sebagai wakil rakyat untuk membela kepentingan masyarakat Papua Tengah, termasuk menyuarakan penolakan terhadap program transmigrasi yang direncanakan oleh pemerintah pusat.
Sebagai bagian dari masyarakat Papua Tengah, saya dengan tegas menolak program transmigrasi yang dianggap mengancam keberlangsungan masyarakat Papua, ungkap Hengki dalam keterangan tertulis yang diterima pada Minggu, 10 November 2024.
Program transmigrasi tersebut, yang diumumkan sehari setelah pelantikan Presiden Prabowo Subianto, bertujuan untuk pemerataan pembangunan. Presiden yang baru terpilih bersama Kabinet Merah Putih merencanakan transmigrasi dari Pulau Jawa ke Papua, dengan Menteri Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Agus Harimurti Yudhoyono serta Menteri Transmigrasi Muhammat Iftitah Sulaiman Suryanagara sebagai penanggung jawab program ini.
Menurut Hengki, program ini bukan solusi bagi masyarakat Papua, melainkan berpotensi mengancam keberadaan masyarakat asli.
Papua bukan tanah kosong, tegas Hengki, yang menilai bahwa pembangunan harus dilakukan tanpa mengorbankan hak-hak masyarakat asli Papua.
Kontributor: Elias Douw