wmhg.org – Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno Marsudi menggelorakan kembali Semangat Bandung untuk melawan ketidakadilan yang dilakukan Israel terhadap Palestina.
Hal tersebut disampaikannya di sela-sela Sidang Majelis Umum (SMU) PBB di New York, Senin (23/9/2024). Dalam pertemuan tersebut, Retno mendorong kesatuan negara-negara anggota Gerakan Non-Blok (GNB) untuk melawan ketidakadilan.
Menjelang peringatan 70 tahun Konferensi Bandung pada 2025, kita harus mengingat kembali Semangat Bandung, yaitu semangat solidaritas, perdamaian, dan kerja sama antarbangsa, katanya mengutip Antara, Selasa (24/9/2024).
Ia mengemukakan bahwa GNB harus bersatu memperjuangkan sistem multilateral yang adil dan setara serta menghormati hukum internasional, serta menjadi pelopor dalam bertindak sebagai kekuatan positif bagi keadilan dan kemanusiaan.
Retno mengatakan gerakan tersebut perlu memanfaatkan kekuatan kolektif untuk menuntut akuntabilitas, dan untuk menggalang pengakuan terhadap Negara Palestina, serta untuk menegaskan kembali komitmen mereka terhadap solusi dua negara.
Sudah saatnya bertindak dengan persatuan dan dengan tindakan yang berarti, katanya.
Sebelumnya, ia juga mengemukakan pentingnya pertemuan di tengah peningkatan jumlah korban tewas di Gaza yang telah melampaui 41 ribu orang.
Ini bukan sekadar angka. Mereka adalah laki-laki, perempuan, dan anak-anak tak berdosa yang hidupnya tiba-tiba berakhir secara tidak adil akibat konflik, kata Menlu Retno.
Dia menambahkan bahwa selama berbulan-bulan PBB tetap lumpuh, sementara kebrutalan yang dilakukan Israel terus terjadi. Bahkan, semakin menyebar ke seluruh kawasan Timur Tengah.
Retno mengemukakan kepada Anggota GNB tentang kemungkinan upaya yang bisa dilakukanuntuk menghentikan aksi kekerasan tersebut. Ia juga menekankan bahwa hal yang terjadi di Palestina bukan sekadar konflik, melainkan serangan terhadap fondasi sistem multilateral.
Penerapan hukum internasional yang selektif dan lingkungan yang penuh impunitas (kekebalan) telah membuat sebagian besar negara berkembang di belahan bumi selatan frustrasi, katanya.
Kesenjangan geopolitik di antara negara-negara besar telah memungkinkan terjadinya situasi di mana hak asasi manusia dan hukum kemanusiaan internasional diabaikan dan suatu negara dapat bertindak tanpa hukuman atau konsekuensi, ujarnya.