wmhg.org – JAKARTA. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Begitulah kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri. Permintaan ekspor terus menurun akibat pelemahan ekonomi global. Di sisi lain, pasar dalam negeri pun tak bisa diharapkan akibat banjir produk impor.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan, pasar ekspor TPT masih banyak menghadapi tantangan.
Ekspor tahun ini sepertinya akan stagnan di angka US$ 11 miliar, katanya kepada KONTAN, Kamis (24/10/2024).
Menurut Redma, ketika pasar ekspor sedang tidak bergairah, maka yang diharapkan oleh pelaku usaha adalah pasar lokal. Hanya saja, kondisi pasar domestik juga tengah mengalami tren penurunan.
Ekspor banyak tantangan, jadi sebetulnya pasar domestik jadi harapan utama. Namun dengan banjirnya barang impor ilegal akibat buruknya kinerja Bea Cukai, pasar domestik pun sulit diharapkan, keluhnya.
Akibat permintaan dari pasar global juga domestik, APSyFI menyebutkan tingkat utilisasi pabrik masih rendah bahkan trennya negatif.
Posisinya masih dalam trend negatif dengan tingkat utilisasi rata-rata 45%, sebut Redma.
Dengan kondisi berat seperti itu, pemutusan hubungan kerja (PHK) di indutri TPT sulit dihindarkan. Permintaan yang rendah menyebabkan produksi turun yang ujungnya pada pengurangan tenaga kerja sebagi bentuk efisiensi. Praktis, sepanjang tahun ini industri TPT harus bertahan dengan kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan.
Sejatinya, sudah puluhan pabrik besar hingga ribuan pabrik garmen skala kecil yang harus melakukan PHK hingga berhenti produksi. PHK sudah terjadi dan menjadi tren sejak kuartal III 2022, sepanjang tahun 2023 dan terjadi sampai 2024, jelasnya.
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tekstil nasional masih berlanjut. Kabar terbaru datang dari PT Primissima (Persero), salah satu perusahaan BUMN tekstil terkemuka di Indonesia, terpaksa melakukan PHK massal terhadap 402 karyawannya.
Jumlah pekerja yang kehilangan pekerjaan bakal bertambah. Ikhwalnya, PT Sri Rejeki Isman Tbk, yang dikenal sebagai Sritex, salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang. Putusan pailit ini tercantum dalam perkara nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg. Pailitnya Sritex disebabkan oleh beban utang perusahaan yang melebihi nilai aset yang dimiliki.
Sebelumnya, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang memutuskan pailit PT Pandanarum Kenangan Textil (Panamtex). Panamtex adalah perusahaan tekstile di Pekalongan yang berdiri sejak tahun 1994 dengan produksi utama Sarung Tenun BINSALEH, Sarung GOYOR dan Surban.
Namun hingga kini, pabrik Panamtex masih beroperasi meskipun terbatas. Sementara itu, nasib 510 pekerja Panamtex terancam karena status pailit perusahaan. Perusahaan sudah mengajukan kasasi untuk tetap beroperasi.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat, pada Januari hingga 26 September 2024 ada 52.993 pekerja yang kena PHK. Angka itu naik lebih dari 10.000 pekerja dari periode yang sama tahun lalu, yang sebesar 42.277 pekerja.
Berdasarkan sektornya, pekerja di sektor manufaktur atau pengolahan jadi yang paling terdampak PHK. Ada 24.014 kasus PHK di sektor pengolahan, lalu sektor jasa 12.853 kasus, dan sektor pertanian-kehutanan-perikanan sebanyak 3.997 kasus PHK.