wmhg.org – JAKARTA. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Syafrina menilai, wacana mengganti rumah jabatan anggota DPR RI periode 2024-2029 dengan tunjangan perumahan per bulan sekedar disebut untuk efisiensi.
Dalam hal ini, ICW melihat seharusnya disertai juga hitungan-hitungan berapa alokasi anggaran untuk tunjangan dan perbandingan dengan rumah dinas seperti saat ini. Terlebih, kalau disebut-sebut besarannya Rp 30 juta-Rp 50 juta. Mana yang lebih efisien, memberi tunjangan bulanan atau sewa rumah tahunan, atau rumah dinas?, katanya kepada KONTAN, Senin (7/10/2024)
Almas berhitung, kalau sewa rumah misalnya Rp 30 juta kali 12 bulan saja sudah Rp 360 juta. Kalau ternyata lebih besar anggaran untuk tunjangan rumah (dibanding rudin dan sewa), maka motifnya jadi perlu dipertanyakan.
Selain itu, anggota DPR juga selama ini disebut-sebut banyak yang tidak menempati rumah dinas. Bisa jadi karena sudah punya rumah sendiri di Jakarta dan sekitarnya, atau menganggap rudin sudah tidak layak. Kalau jadi konversi ke tunjangan rumah, saya rasa ini perlu jadi pertimbangan juga. Seharusnya tidak disamakan besarannya, terang dia.
Almas menekankan agar pemerintah harus membiasakan menyusun kebijakan berdasarkan kajian dan data yang memadai. Pasalnya, punya konsekuensi anggaran yang sangat besar. Lantas, kajian atas rencana kebijakan ini patut juga disampaikan ke publik.
Rp 360 juta itu sudah dapat sewa rumah luar biasa elit di Jakarta. Miris sekali di tengah kondisi pajak rakyat naik dan anggaran pelayanan publik dasar banyak dipotong, kritiknya.