wmhg.org – JAKARTA. Pemerintah perlu mengantisipasi kenaikan impor minyak dan gas (migas).
Adapun nilai impor migas Indonesia pada Juli 2024 tercatat US$ 3,56 miliar, atau meningkat 8,78% dibandingkan Juni 2024 dan naik 13,59% dibandingkan Juli 2023.
Belum lama ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa sebesar Rp 450 triliun per tahunnya devisa negara dihabiskan untuk impor migas, terutama untuk kebutuhan liquefied petroleum gas (LPG).
Hari ini devisa kita setiap tahun keluar kurang lebih sekitar Rp 450 triliun hanya untuk membeli minyak dan gas untuk khusus LPG, kata Bahlil, seperti diberitakan Kontan sebelumnya.
Menanggapi hal tersebut, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan bahwa selama lifting minyak terus turun maka Indonesia akan sulit menjadi negara net eksportir minyak.
Menurutnya, salah satu faktor impor migas yang terus meningkat lantaran dari sisi produksi minyak di dalam negeri semakin menurun. Namun, konsekuensinya peningkatan impor ini akan membuat subsidi membengkak.
Makanya impor migas kita selalu tinggi Kita sudah jadi negara net importir minyak. Kebutuhan minyak naik, tetapi produksi terus turun. Ya impor jadi jalan keluarnya. Yang berbahaya kan dari sisi subsidi yang pasti akan membengkak, ujar Huda kepada Kontan.co.id, Kamis (12/9).
Namun di sisi yang lain, kata Huda, subsidi bahan bakar minyak (BBM) masih tetap diperlukan untuk menjaga tingkat inflasi dan daya beli masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya exit strategy dengan cara pembatasan subsidi BBM.
Jadi yang berhak dapat subsidi adalah masyarakat yang membutuhkan. Yang pakai mobil dikurangilah pakai pertalite. Jadi anggaran subsidi tidak membengkak terlalu besar, katanya.
Sementara itu, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengungkapkan bahwa Indonesia menggantungkan sekitar 62,5% supply minyak mentah melalui impor.
Kondisi semakin mengkhawatirkan akibat produksi yang terus menurun dan konsumsi yang terus meningkat, kata Wija.
Menurutnya, penurunan produksi tersebut disebabkan karena tidak adanya investasi baru, terutama di sektor hulu serta semakin tuanya sumur minyak di dalam negeri. Sementara itu, konsumsi terus melejit dari tahun ke tahun.
Di sisi lain, Indonesia masih merupakan net eksportir gas alam, kendati pun situasinya juga sangat menantang akibat dari tren kenaikan konsumsi yang dibarengi dengan tren penurunan produksi.
Diprediksi posisi net eksportir akan berakhir tidak lama lagi, jika kita tidak melakukan perbaikan secara serius, tuturnya.
Terkait minyak bumi, Wijayanto menyebut, cadangan Indonesia relatif terbatas dan terletak di daerah yang memerlukan biaya eksploitasi yang tinggi. Ini kalah kompetitif jika dibandingkan cadangan diberbagai negara, khususnya Timur Tengah, Afrika dan Amerika Tengah/Latin.
Sehingga mengundang investor baru sangatlah menantang. Hal yang bisa kita lakukan untuk menekan defisit minyak bumi adalah dengan memperlambat penurunan produksi sumur kita, melalui pendekatan enhanced oil recovery (EOR), kata Wijayanto.
Dari sisi demand, Indonesia juga perlu melakukan upaya penghematan, terutama di sektor transportasi yang saat ini mengonsumsi sekitar 62,5% minyak bumi di Indonesia. Di mana 97 persennya dikonsumsi oleh kendaraan pribadi.
Dalam konteks tersebut, menurut Wijayanto, solusi yang bisa diambil adalah dengan meningkatkan peran transportasi publik di kota-kota, mendorong migrasi dari mobil konvensional menuju mobil listrik melalui berbagai insentif, serta penerapan subsidi yang terbatas dan tepat sasaran.
Terkait gas alam, ia menyebut, Indonesia sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa. Namun, iklim investasi yang buruk membuat investor tidak tertarik untuk berinvestasi di Indonesia.
Kebijakan yang flip-flop (gonta-ganti) merupakan salah satu penyebab turunnya produksi. Ia mengatakan, Blok Masela merupakan contoh kongkrit pengambilan kebijakan yang tidak tepat sehingga ujungnya merugikan Indoenesia sendiri.
Kita tidak kaya akan gas alam dan minyak bumi. Proven reserved gas alam dan minyak bumi kita hanya 0,49% dan 0,025% dunia. Dengan tren produksi seperti saat ini saja, cadangan gas alam dan minyak bumi akan habis dalam sekitar 20 dan 10 tahun lagi, katanya.
Oleh karena itu, upaya mencari sumber energi baru perlu dipercepat. Menurutnya, geothermal, air, angin dan surya merupakan opsi yang harus diprioritaskan.
Wijayanto mengakui, saat ini memang sumber energi tersebut belum terlalu bisa dilakukan (feasible). Namun dengan perkembangan teknologi maha hal tersebut bisa diwujudkan.
Secara paralel, dalam jangka yang agak panjang, kita akan tetap tergantung pada batubara, sehingga perlu pendekatan yang bijak antara ketahanan energi dan keberlanjutan lingkungan, pungkasnya.