wmhg.org – JAKARTA. Industri hasil tembakau mendapat sedikit angin segar pasca pemerintah memutuskan tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada 2025. Hanya saja, tantangan industri ini masih tetap berat dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 dan rencana aturan kemasan rokok polos tanpa merek yang tertera pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, menilai pasal–pasal dalam PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes terkait kemasan polos tanpa merek membawa risiko signifikan terhadap perekonomian.
Ia bilang, pnelitian INDEF mengidentifikasi tiga skenario dampak ekonomi yang harus dipertimbangkan. Pertama, aturan kemasan polos tanpa merek dapat mendorong fenomena downtrading hingga switching dari rokok legal ke rokok ilegal, yang dapat mengurangi permintaan produk legal hingga 42,09%.
Penurunan ini bisa menyebabkan potensi dampak ekonomi yang hilang sebesar Rp 182,2 triliun, dan penerimaan perpajakan yang turun hingga Rp95,6 triliun, ujar Tauhid dalam keterangannya, Selasa (1/10).
Kedua, larangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak diperkirakan dapat mengurangi penjualan ritel rokok hingga 33,08%. Potensi dampak ekonomi yang hilang mencapai Rp84 triliun, dengan penerimaan perpajakan yang terdampak sebesar Rp43,5 triliun.
Ketiga, pembatasan iklan rokok di luar ruang serta di media TV dan daring dapat mengurangi permintaan jasa periklanan hingga 15%, dengan dampak ekonomi yang hilang sebesar Rp 41,8 triliun dan penerimaan perpajakan yang turun Rp 21,5 triliun.
Melihat berbagai skenario ini, Tauhid menekankan pentingnya melibatkan semua pemangku kepentingan dalam ekosistem industri hasil tembakau. Kebijakan ini harus melibatkan setiap pemangku kepentingan, baik itu kementerian, lembaga, maupun pelaku usaha, mengingat kompleksitas ekosistem industri hasil tembakau di Indonesia,” ujarnya.
Oleh karena itu, INDEF merekomendasikan pemerintah untuk melakukan revisi PP 28/2024 dan membatalkan Rancangan Permenkes, khususnya pada pasal-pasal yang dinilai akan memberikan dampak terhadap penerimaan dan perekonomian negara.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Askolani, menyampaikan kebijakan tarif CHT 2025 akan berfokus pada penanganan fenomena downtrading yang marak terjadi, yaitu peralihan konsumsi rokok ke jenis yang lebih murah.
Jika fenomena itu terus terjadi maka penerimaan cukai rokok pun akan sulit mengalami pertumbuhan. Meski tidak ada penyesuaian CHT, pemerintah berencana mengeluarkan alternatif lainnya dengan menyesuaikan Harga Jual Eceran (HJE) di tingkat industri.
Askolani turut menyoroti potensi risiko yang muncul dari kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek. terhadap efektivitas pengawasan. Sebab kita jadi tidak bisa membedakan antara jenis rokok, yang kemudian itu menentukan golongan, dan juga bisa menjadi basis kita untuk pengawasan, jelasnya.
Kemenkeu telah menyampaikan masukan terkait kemasan rokok polos tanpa merek kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk memastikan bahwa kebijakan kesehatan yang diusulkan tetap mempertimbangkan aspek pengawasan dan pengendalian rokok ilegal.