wmhg.org – Kasus teror dan intimidasi terhadap jurnalis di Papua kembali menjadi sorotan. Sejumlah jurnalis, mengalami berbagai bentuk kekerasan dan intimidasi, yang diduga melibatkan aparat kepolisian.
Kejadian ini memicu reaksi keras dari komunitas pers dan organisasi pergerakan, yang menuntut Polri dan Polda Papua untuk segera mengusut tuntas kasus ini dan menyeret para pelaku ke jalur hukum.
Dalam pernyataan resmi, berbagai organisasi pers dan media, seperti Media Jubi, PWI Papua Tengah, AJI Jayapura, dan LBH Pers, mendesak agar kasus-kasus kekerasan ini tidak lagi diabaikan.
Kami menuntut agar pihak kepolisian segera mengungkap pelaku di balik rentetan teror ini, termasuk kasus pelemparan bom molotov di kantor redaksi Tabloid Jubi pada Rabu, 16 Oktober 2024, kata juru bicara komunitas tersebut,Sonny Dogopia, dalam konferensi pers yang digelar Kamis (24/10/2024).
Salah satu kasus teror yang menyita perhatian adalah pelemparan bom molotov oleh dua orang tak dikenal ke halaman kantor Tabloid Jubi di Perumnas II Waena, Jayapura.
Selain itu, jurnalis senior Viktor Mambor menjadi korban serangkaian intimidasi. Mulai dari rem mobil yang disengaja diinjak, perusakan mobil, hingga penemuan bom rakitan di dekat rumahnya.
Bom tersebut meledak, namun untungnya tidak menyebabkan kerusakan parah, ujar Mambor.
Namun, kekhawatiran terus membayangi, terutama karena belum ada kejelasan mengenai pelaku dan motif di balik teror ini.
Kasus kekerasan terhadap jurnalis lainnya juga dialami Pemimpin Redaksi Cenderawasih Pos sekaligus Ketua AJI Jayapura, Lucky Ireeuw, yang mobilnya dirusak oleh orang tak dikenal di kawasan Kampung Tobati/Enggros Hamadi, Jayapura, pada 21 Agustus 2021 silam.
Insiden kekerasan juga terjadi saat sejumlah jurnalis meliput aksi demonstrasi terkait dugaan penyiksaan oleh aparat di Kabupaten Puncak, Papua Tengah, pada April 2024.
Empat jurnalis yang sedang bertugas, di antaranya Yulianus Degei dari papua.tribunnews.com dan Melkianus Dogopia dari tadahnews.com, mengalami intimidasi dari oknum kepolisian. Mereka dilarang meliput, dirampas alat kerjanya, hingga mengalami kekerasan fisik.
Peristiwa serupa terulang saat dua jurnalis, Aleks Waine dan Melkianus Dogopia, dihadang aparat saat meliput aksi New York Agreement di Nabire pada 15 Agustus 2024.
Kedua jurnalis tersebut bahkan dilarang mengambil foto atau video, dan dipaksa meninggalkan area demonstrasi.
Komunitas pers menyatakan kekecewaannya terhadap lambannya penanganan kasus kekerasan terhadap jurnalis di Papua. Mereka mempertanyakan keberpihakan aparat dalam melindungi kebebasan pers dan keamanan wartawan.
Jika polisi tidak segera mengungkap pelaku teror, kami bisa berkesimpulan bahwa ada keterlibatan aparat dalam peristiwa ini, ujarnya.
Menurut koordinator lapangan aksi protes, Hengky Yeimo, pihaknya mendesak Polda Papua untuk segera menangkap pelaku pelemparan bom molotov di kantor redaksi Jubi dan penyelidikan terkait serangan bom di kediaman Viktor Mambor.
Kami meminta agar segala bentuk teror dan intimidasi terhadap jurnalis di Tanah Papua dihentikan. Stop kekerasan terhadap wartawan di Nabire dan sekitarnya, tegas Yeimo.
Ia juga menambahkan bahwa jika tuntutan ini tidak dipenuhi, pihaknya akan menggelar aksi protes di Nabire sebagai bentuk perlawanan.
Menjaga Ruang Demokrasi di Tanah Papua
Situasi ini mencerminkan kondisi sulit yang dihadapi jurnalis di Papua dalam menjalankan tugas mereka sebagai pilar keempat demokrasi. Kekerasan terhadap jurnalis tidak hanya mengancam kebebasan pers, tetapi juga mencederai hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat dan berimbang.
“Stop bungkam ruang demokrasi di media massa. Semua pihak harus menghormati kerja-kerja jurnalis yang bertugas mengawasi jalannya demokrasi dan mengangkat rakyat Papua,” katanya.
Kontributor : Elias Douw