wmhg.org – Kalimantan Timur (Kaltim) menjadi provinsi dengan jumlah lubang tambang nikel terbanyak di Indonesia. Berdasar data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) tercatat ada sebanyak 40 ribu lubang beracun imbas tambang berada di Kaltim. Bahkan sejak 2017, seluruh ruang hidup di Kaltim sudah dikapling untuk kegiatan pertambangan.
Kebijakan tersebut yang pada akhirnya menimbulkan berbagai konflik, baik kerusakan alam juga kekerasan terhadap warga lokal.
Peneliti JATAM di Kaltim, Mareta Sari menyebutkan kalau luas lahan pertambangannya bahkan telah melebihi luas daratan Kaltim sendiri.
Dalam konteks ruang hidup Kaltim, sejak 2017 sebenarnya seluruh sudah dikapling. Dari luasan 12,7 juta hektare, kalau ditumpuk konsesi keseluruhan tidak hanya pertambangan tapi juga konsesi ekstraktif dan luas itu lebih luas dari daratan Kaltim total 13,5 juta hektater. Artinya, ruang hidup Kaltim sebenarnya sudah tidak ada lagi, kata Mareta dalam webinar Menolak Suap Tambang Untuk Ormas Keagamaan, Jumat (27/9/2024).
Masyarakat yang menolak konsesi pertambangan, dipaksa hidup berdampingan dengan konflik alam maupun pelanggaran HAM. Mareta khawatir, kondisi itu akan makin parah dengan adanya Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2024 tentang pemberian izin tambang kepada organisasi masyarakat (ormas).
Lewat peraturan tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) diketahui telah memberi izin tambang kepada Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah atas konsesi tambang di Kalimantan Timur.
Dengan adanya PP 25 tahun 2024 yang berikan kewenangan kepada ormas untuk kelola atau mempunyai konsesi pertambangan akan perburuk situasi di Kaltim, akan makin menyiksa, ujarnya.
Mareta mengaku kalau dirinya termasuk warga lokal yang menjadi korban penggusuran akibat aktivitas pertambangan. Kampungnya berada di Kecamatan Bengalon yang termasuk salah satu daerah pertambangan terbesar di Kaltim.
Catatan Jatam, aktivitas pertambangan yang dilakukan hampir 24 jam sehari itu menimbulkan pencemaran alam akibat pembuangan limbah ke sungai-sungai yang jadi andalan masyarakat lokal untuk mencari pangan. Akibat kondisi alam yang memburuk, masyarakat seolah dipaksa untuk pindah dari kampungnya dengan merusak alam.
Sungai yang digunakan sehari-hari untuk cari ikan itu diracuni. Jadi ada satu lubang tambang, dugaan kami ketika diperiksa ada racun, mencemari air sungai. Akhirnya mereka mau tak mau harus cari penghidupan lain, ungkap Mareta.