wmhg.org – Mary Jane Veloso, seorang warga Filipina berusia 39 tahun, akhirnya dapat kembali ke negaranya setelah lebih dari satu dekade menghadapi ancaman hukuman mati di Indonesia. Kabar pembebasannya disampaikan langsung oleh Presiden Filipina, Ferdinand Bongbong Marcos Jr., melalui akun Instagram resminya pada Rabu, 20 November 2024.
Dalam unggahannya, Presiden Marcos Jr. mengungkapkan bahwa keberhasilan ini merupakan buah dari upaya diplomasi panjang antara Filipina dan Indonesia. “Kami berhasil menunda eksekusi matinya cukup lama demi mencapai kesepakatan untuk membawanya pulang ke Filipina,” tulisnya.
Namun, seperti apa perjalanan panjang Mary Jane hingga ia sempat divonis hukuman mati dan kini dinyatakan bebas? Berikut kronologi kasusnya.
Awal Penangkapan dan Tuduhan Penyelundupan Narkotika
Kisah tragis Mary Jane bermula pada 25 April 2010, ketika ia ditangkap di Bandar Udara Adisutjipto, Yogyakarta. Saat itu, ia kedapatan membawa 2,6 kilogram heroin yang disembunyikan dalam sebuah koper. Barang haram tersebut memiliki nilai sekitar Rp 5,5 miliar.
Mary Jane, yang berasal dari Bulacan, Filipina, kemudian diadili dan divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Sleman berdasarkan Pasal 114 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Dalam persidangan, Mary Jane mengaku bahwa dirinya adalah korban perdagangan manusia. Ia menceritakan bahwa pada tahun 2010, ia ditawari pekerjaan di Kuala Lumpur. Sebelumnya, Mary Jane bekerja di Dubai, namun setelah hampir menjadi korban kekerasan seksual, ia memutuskan untuk mencari peluang kerja lain.
Setibanya di Kuala Lumpur, Mary Jane mendapati bahwa pekerjaan yang dijanjikan sudah tidak tersedia. Kristina, orang yang menjanjikan pekerjaan tersebut, kemudian meminta Mary Jane untuk pergi ke Yogyakarta. Sebelum berangkat, Kristina memberikan sebuah koper baru dan uang tunai sebesar USD 500. Tanpa menyadari bahwa koper tersebut berisi narkotika, Mary Jane menuju Yogyakarta dan akhirnya ditangkap.
Vonis Mati dan Penundaan Eksekusi
Pada tahun 2015, Mary Jane dijadwalkan menjalani eksekusi bersama sejumlah terpidana mati lainnya di Indonesia. Ia sempat dipenjara di Nusakambangan sebelum akhirnya dipindahkan ke Lapas Perempuan (LPP) Kelas II B Yogyakarta.
Berbagai upaya hukum dilakukan, termasuk pengajuan peninjauan kembali (PK) dan permohonan grasi dari Presiden Filipina saat itu, Benigno S. Aquino III, kepada Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, ketika pemerintahan berganti ke Presiden Joko Widodo, grasi tersebut ditolak.
Mary Jane nyaris menghadapi eksekusi mati pada tahun 2015, tetapi beberapa jam sebelum eksekusi, hukuman tersebut ditunda. Penundaan ini terjadi setelah muncul fakta baru bahwa Mary Jane adalah korban perdagangan manusia. Kesaksian ini membuka peluang untuk menyelidiki kembali keterlibatan pihak lain yang memanfaatkan dirinya.
Kehidupan di Penjara dan Akhirnya Dibebaskan
Selama berada di balik jeruji, Mary Jane terus menanti keputusan akhir atas nasibnya. Dalam sebuah dokumenter, ia pernah menyampaikan rasa sedihnya sebagai seorang ibu yang tidak dapat melihat kedua anaknya tumbuh besar. “Sebagai seorang ibu, saya kehilangan banyak momen berharga bersama anak-anak saya,” tuturnya.
Setelah bertahun-tahun menjalani hukuman, perjuangan diplomasi antara pemerintah Filipina dan Indonesia akhirnya membuahkan hasil. Pada 20 November 2024, Presiden Ferdinand Marcos Jr. mengumumkan kebebasan Mary Jane dan kepulangannya ke Filipina.
Kasus Mary Jane Veloso menjadi pengingat akan kompleksitas persoalan hukum lintas negara, khususnya yang melibatkan perdagangan manusia dan narkotika. Kebebasannya adalah hasil dari kombinasi advokasi hukum, diplomasi, dan pembuktian akan kebenaran yang sempat tersembunyi.
Kontributor : Rishna Maulina Pratama