wmhg.org – Masyarakat adat di Merauke yang terdampak proyek nasional food estate tetap gigih menyatakan penolakan rencana tersebut. Proyek di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, yang menggerus 2,29 juta hektare itu dinilai hanya merusak alam tanah Papua.
Aktivis Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Merauke, Romo Pius Cornelis Manu, menyampaikan bahwa masyarakat adat sudah banyak memberikan alam Papua digunakan untuk proyek pemerintah. Sehingga, masyarakat berharap pemerintah tak lagi merebut sisa alam Papua yang semakin sedikit jumlahnya.
Kami punya tanah ini tidak besar, kami punya juga anak-anak yang ke depannya kan perlu terkembang. Dan sisa tanah yang ada marilah diberikan kepada kami. Sebab tanah kami sudah kasih cukup besar untuk pembangunan negara di wilayah Kota Merauke dan sekitarnya, kata Romo Pius dalam diskusi media Dampak Buruk Food Estate di Merauke, Kantor Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Jakarta, Rabu (25/9/2024).
Romo Pius mengkritisi setiap perusahaan yang bertanggungjawab mengerjakan proyek negara di tanah Papua sering kali gagal. Dia melihat, pembangunan itu ujungnya hanya merusak alam Papua.
Seperti yang terjadi di Kampung Senegi, Distrik Animha, Merauke. Romo Pius mengungkapkan kalau dirinya pernah melihat tumpukan kayu dari penebangan hutan yang dibiarkan menumpuk hanya jadi limbah.
Dari depan ke belakang itu sekitar 100 meter dan kayu ini tidak dimanfaatkan, jadi limbah saja. Supaya hal seperti ini tidak terulang berkali-kali, kami menolak perusahaan dengan bentuk apa pun, tegasnya.
Dia menekankan bahwa masyarakat Papua sebenarnya tidak menolak pembangunan dari negara. Asalkan ada keterlibatan masyarakat adat agar pelestarian alam Papua tetap terjaga.
Selain itu, sikap tersebut juga sebagai bukti bahwa pemerintah pusat benar menjalankan otonomi daerah.
Undang-undang otonomi khusus betul ditegakan, penggunaan dana otonomi khusus dipakai betul untuk membangun kami, ujar Romo Pius.