wmhg.org – Perusahaan PT Tri Manunggal Daya Cipta (TMDC) diduga memiliki koneksi kuat di Polri sehingga bisa memenangkan tender proyek pengadaan Pepper Projectile Launcher atau senjata gas air mata tahun anggaran 2022-2023 di Polri.
Indonesia Corruption Watch atau ICW bersama belasan lembaga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menduga adanya korupsi senilai Rp26,5 miliar pada proyek tersebut.
Berdasar hasil analisis ICW, dua anggota Polri berinisial YS dan RS selaku Pejabat Pembuat Komitmen atau PPK diduga melakukan persekongkolan tender saat proses perencanaan. Mereka diduga dengan sengaja dan sadar mencantumkan nama tender yang hanya dapat disuplai oleh PT TMDC.
PT TMDC merupakan satu-satunya perusahaan pemegang lisensi Byrna di Indonesia. Ini terlihat dalam dua kali paket pengadaan Pepper Projectile Launcher pada 2022 dan 2023 di Polri. Dari total 13 peserta tender, hanya PT TMDC satu-satunya peserta yang mampu mengajukan penawaran harga. Padahal ada perusahaan luar negeri selain Byrna, yakni Sabre yang juga memiliki produk serupa.
Indikasi persekongkolan tender tersebut patut diduga terjadi pada saat perencanaan. Salah satu bentuknya yaitu; pencantuman spesifikasi teknis, jumlah, mutu, dan atau waktu penyerahan barang yang akan ditawarkan atau waktu penyerahan barang yang hanya dapat disuplai oleh satu pelaku usaha tertentu, ungkap Koordinator ICW, Wana Alamsyah dikutip dari wmhg.org.
Tim Klub Jurnalis Investigasi (KJI) juga menemukan adanya kejanggalan terkait pembaruan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) dalam akta perusahaan PT TMDC.
Perusahaan yang sebelumnya salah satunya bergerak di bidang garmen tersebut, memasukkan klasifikasi sebagai perusahaan penyediaan senjata dan amunisi dengan kode KBLI 25200 pada 7 September 2021 atau tiga bulan sebelum paket pengadaan Pepper Projectile Launcher 2022 Polri diumumkan pada 28 Desember 2021.
Wana menduga temuan Tim KJI ini semakin menguatkan dugaan adanya relasi antara PT TMDC dengan pejabat Polri. Sebab, perusahaan itu memiliki akses terlebih dahulu untuk mengetahui proyek pengadaan di Polri meski belum diumumkan secara resmi.
KJI melakukan paper trail atau pelacakan dokumen guna mencari nama-nama yang pernah tercatat sebagai direksi di PT TMDC.
Berdasarkan pelacakan dokumen publik melalui Administrasi Hukum Umum atau AHU, PT TMDC didirikan pada 1986 dengan modal awal sebesar Rp12,5 juta. Tiga nama tercantum sebagai pemegang saham awal: Siti Romlah, Chong Arnessen Bastian, dan Ridwan Arifin Praha Surya.
Dalam dokumen tersebut, Siti Romlah tercatat memiliki 60 lembar saham senilai Rp6 juta. Sementara Chong Arnessen Bastian yang tercantum sebagai Direktur PT TMDC memiliki 55 lembar saham seharga Rp5,5 juta. Sedangkan Ridwan Arifin Praha Surya (Komisaris PT TMDC) tercatat memiliki 10 lembar saham sebesar Rp1 juta.
Merujuk dokumen AHU yang diperbarui pada 2022, Suwito Latifah tercatat sebagai Direktur PT TMDC. Ia menguasai 99 ribu lembar saham senilai Rp9,9 miliar. Nama Suwito Latifah pertama kali tercatat sebagai Komisaris PT TMDC pada Februari 2007.
Pada 2007, Suwito Latifah memiliki 60 lembar saham seharga Rp6 juta. Saham tersebut sebelumnya diduga dimiliki oleh Siti Romlah.Kala itu, Siti Romlah masih tercatat sebagai Direktur Utama PT TMDC. Namun kepemilikan sahamnya berubah.
Ia tercatat hanya memiliki 10 lembar saham senilai Rp1 juta. Sedangkan Ridwan Arifin Praha Surya yang sebelumnya tercatat memilik 10 lembar saham senilai Rp1 juta di tahun itu tidak lagi tercantum sebagai Komisaris PT TMDC.
Dulu ibu memang rekanan Pak Suwito Latifah, ungkap Rini Kustiawati, putri keempat Siti Romlah saat diwawancarai Tim KJI di rumahnya Asrama Polri, Cipinang, Pulogadung, Jakarta Timur, Selasa, 1 Oktober 2024.
Rini mengungkapkan, setelah bapaknya meninggal dunia pada 1983, sang ibu—Siti Romlah—diajak Suwito Latifah sebagai rekan bisnis. Suwito meminjam nama ibunya sebagai pemilik saham di PT TMDC.
Tapi cuma namanya saja dipinjam. Setiap bulan ibu saya dapat, istilahnya, honor dari Pak Suwito.
Suami Siti Romlah bernama Yaya Kuswaya. Ia anggota Polri berpangkat Letnan Kolonel atau AKBP. Yaya telah meninggal 1983, sedangkan Siti Romlah meninggal pada 2014.
Berdasar dokumen AHU, Siti Romlah pada 2014 tercatat sebagai Komisaris PT TMDC dengan kepemilikan 11 ribu lembar saham senilai Rp1,1 miliar. Selang setahun, 2015, nama Siti Romlah digantikan seseorang bernama Sonny Wibowo dengan catatan kepemilikan 11 ribu lembar saham senilai Rp1,1 miliar.
Setelah Siti Romlah meninggal, Rini mengaku tak pernah berkomunikasi dengan Suwito Latifah. Ia juga tak tahu kegiatan usaha PT TMDC. Sebab yang memiliki hubungan dengan dengan Suwito Latifah ialah ibunya.
Namun, berdasarkan cerita yang didengar Rini dari ibunya semasa hidup, Suwito Latifah memiliki hubungan dekat dengan sejumlah orang penting, selain juga disebut-sebut kerap menjalin kerja sama dengan kepolisian.
Katanya sih proyeknya pengadaan semacam baju-baju Polri. Terus apa lagi begitu, pokoknya banyak sih yang dipegang, ujar Rini.
Selain Siti Romlah, Tim KJI juga sempat menemui Tony. Dalam dokumen AHU yang diperbarui pada 2022, pria tersebut tercantum sebagai Komisaris PT TMDC dengan kepemilikan 11 ribu lembar saham atau senilai Rp1,1 miliar.
Ditemui di kediamannya di kawasan Cipondoh, Kota Tangerang, Banten, Tony kaget dan tampak ketakutan saat ditanyakan seputar PT TMDC. Ia mengklaim sama sekali tidak mengetahui perusahaan itu. Apalagi memiliki saham sebesar itu.
Ia mengaku sehari-hari hanya seorang pedagang empek-empek. Saya enggak mengerti apa-apa dan saya tidak punya perusahaan,” kata dia.
Tim KJI telah berupaya meminta Polri untuk membuka detail dokumen terkait pengadaan Pepper Projectile Launcher tahun 2022-2023. Sekaligus menyampaikan permohonan wawancara terkait adanya dugaan korupsi di balik proyek pengadaan gas air mata tersebut. Namun hingga berita ini diterbitkan, surat permohonan yang ditujukan kepada Kadiv Humas Polri Irjen Sandi Nugroho itu tak kunjung dibalas.
Sementara Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko sempat membantah adanya dugaan korupsi terkait pengadaan Pepper Projectile Launcher ini.
Bantahan tersebut disampaikannya pada 3 September 2024 atau sehari setelah ICW dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian melaporkan kasus ini ke KPK.
“Kami memastikan bahwa pengadaan dilakukan sesuai prosedur yang berlaku,” kata Trunoyudo.