wmhg.org – JAKARTA. Pemerintah diharapkan segera mengambil kebijakan untuk meningkatkan daya beli masyarakat guna menjaga laju pertumbuhan ekonomi.
Melemahnya daya beli dikhawatirkan bisa memengaruhi pertumbuhan, mengingat konsumsi rumah tangga merupakan motor utama ekonomi Indonesia.
Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menyatakan bahwa pemerintahan baru sebaiknya segera menyiapkan kebijakan untuk mendorong konsumsi masyarakat.
Saya rasa justru rugi besar jika pemerintah, terutama otoritas ekonomi, masih berada dalam fase denial, ujar Wija kepada Kontan.co.id, Minggu (27/10).
Beberapa indikator ekonomi menunjukkan penurunan daya beli masyarakat. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) merevisi target penjualan mobil nasional 2024 dari 1,1 juta unit menjadi hanya 850.000 unit karena kondisi pasar otomotif yang masih sulit.
Selain itu, Purchasing Manager Index (PMI) Manufaktur Indonesia berada di level kontraksi selama tiga bulan berturut-turut, mencapai 49,2 pada September 2024.
Sementara itu, survei Bank Indonesia (BI) menunjukkan penurunan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada bulan yang sama, mengindikasikan lemahnya kepercayaan konsumen terhadap kondisi ekonomi.
Untuk mengatasi penurunan daya beli, Wija menyarankan agar pemerintah mendengarkan masukan dari para pelaku usaha serta menyusun kebijakan yang relevan dan objektif.
“Semakin terlambat mencari solusi, semakin sulit memperbaiki keadaan,” jelasnya.
Ia juga memaparkan beberapa solusi jangka pendek yang perlu menjadi prioritas pemerintah, di antaranya:
1. Memberikan Insentif Fiskal bagi Sektor Unggulan – Sektor yang berorientasi ekspor, menciptakan banyak lapangan kerja, atau yang merupakan substitusi impor perlu mendapat dukungan fiskal.
2. Kebijakan Sektor Keuangan untuk Bantu Dunia Usaha – Memfasilitasi dunia usaha yang kesulitan likuiditas dengan kebijakan yang fleksibel.
3. Evaluasi Penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) – Mengurangi penerbitan SBN yang berlebihan karena dapat mengganggu likuiditas dan berdampak pada sektor riil.
4. Pembatasan Produk Impor Berlebih – Mengendalikan masuknya produk impor yang dapat menghambat produksi lokal.
5. Penanganan Pungli dan Premanisme – Menghapus pungutan liar dan premanisme di sektor usaha dengan tindakan hukum tegas.
6. Perluasan Free Trade Agreement (FTA) – Memperbanyak FTA dengan negara-negara besar, termasuk Uni Eropa dan Amerika Serikat, untuk mendorong produk dalam negeri bersaing di pasar global.
Wija menyebutkan, lemahnya daya beli juga berkaitan dengan melonjaknya angka PHK dan penutupan beberapa industri besar di Indonesia.
Pelemahan daya beli ini sudah barang tentu akan menggerus pertumbuhan ekonomi kita, apalagi kondisi fiskal kita sedang lemah, sehingga peran APBN untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi sangat terbatas, katanya.
Menurutnya, tanpa kebijakan yang segera untuk meningkatkan daya beli masyarakat, impian pertumbuhan ekonomi 6% hingga 7% pada tahun 2025 akan sulit dicapai.
Pertumbuhan 8% di tahun-tahun akhir pemerintahan Prabowo 2024-2029 juga semakin sulit terwujud,” tutup Wija.