wmhg.org – JAKARTA. Kinerja penerimaan pajak 2024 diperkirakan tidak akan memenuhi target yang ditetapkan.
Hingga akhir November 2024, realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp 1.688,93 triliun, atau 84,92% dari target.
Hal ini memperkuat kekhawatiran bahwa capaian akhir tahun hanya akan mencapai sekitar 80% dari target, sebagaimana diungkapkan Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute, Ariawan Rahmat pada Rabu (1/1).
Menurut Ariawan, tantangan klasik seperti kelemahan regulasi, rendahnya kesadaran pajak, database yang belum terintegrasi, serta penghindaran pajak, menjadi hambatan utama.
Selain itu, perlambatan ekonomi global dan penurunan harga komoditas utama juga turut mempersulit kondisi penerimaan pajak.
Memasuki 2025, pemerintah telah menetapkan target penerimaan pajak sebesar Rp 2.189,3 triliun, angka yang dinilai ambisius oleh banyak pihak.
Namun, sejumlah kebijakan dan langkah strategis diusulkan untuk menutupi potensi defisit:
Pertama, Optimalisasi Coretax
Pemerintah diminta memaksimalkan implementasi Coretax, sistem manajemen data pajak baru yang bertujuan mengintegrasikan dan meningkatkan efisiensi pengumpulan pajak.
Kedua, Pajak Kekayaan dan Tarif Progresif
Mengenakan pajak kekayaan lebih tinggi serta penyesuaian tarif pajak progresif dapat menjadi solusi untuk mengurangi ketimpangan pendapatan sekaligus meningkatkan penerimaan negara.
Ketiga, Efisiensi Belanja Negara
Pengelolaan belanja negara secara efektif melalui perampingan institusi yang tidak efisien dapat mengurangi beban anggaran dan mengalokasikan dana ke program prioritas.
Keempat, Memajaki Underground Economy
Pemerintah disarankan untuk memperluas cakupan pajak pada sektor ekonomi bawah tanah (underground economy), yang hingga kini belum sepenuhnya tergarap.
Kelima, Pajak Minimum untuk Kelompok Kaya
Pengimplementasian pajak minimum, misalnya 2–3% dari total harta, dapat menjadi tambahan penerimaan tanpa memberatkan masyarakat yang sudah patuh pajak.
Selain kebijakan baru, pemerintah dihadapkan pada perubahan struktur ekonomi global dan situasi domestik yang tidak menentu.
Kebijakan pengenaan PPN 12% hanya untuk barang dan jasa mewah, yang sebelumnya direncanakan meluas, turut membatasi potensi penerimaan pajak.
Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA)Â Fajry Akbar menilai upaya ini harus disertai dengan penguatan penegakan hukum dan transparansi pengelolaan pajak.
Melalui instrumen pajak, hanya mereka yang tidak patuh saja yang akan terkena dampak tambahan, sedangkan yang sudah patuh tetap aman, ujarnya.