wmhg.org – Korrdinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, meminta pemerintah mendengarkan masyarakat terkait polemik penyediaan alat kontrasepsi bagi siswa sekolah dan remaja.
Diketahui penyediaan alat kontrasepsi tersebut tertuang dalam Peraturan Pemeritah No. 28 tahun 2024 tentang Kesehatan. Tepatnya di pasal 103, Ayat (4) butir e.
Ubaid meminta pemerintah mendengarkan masyarakat sebab aturan tersebut menyangkut hajat hidup mereka. Apalagi, kata Ubaid, proses peraturan sangat tidak partisipatif dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembahasannya.
“Daripada kontradiktif dengan tatanan sosial di sekolah dan juga merusak moralitas anak-anak, sebaiknya aturan ini dicabut dan didiskusikan kembali dengan melibatkan partisipasi yang lebih luas,” kata Ubaid dalam keterangannya kepada wmhg.org, Selasa (6/8/2024).
Ubaid mengatakan saat ini Indonesia sedang menghadapi kondisi darurat pornografi dan kekerasan seksual terhadap anak.
Menurut data National Centre for Missing Exploited Children (NCMEC), kasus konten pornografi pada anak di Indonesia merupakan yang terbanyak keempat di dunia dan peringkat dua skala Asia Tenggara.
“Di tengah situasi yang semacam ini, mestinya pemerintah perlu memperkuat pendidikan seksual dan juga pengembangan penyuluhan kesehatan reproduksi pada anak di sekolah, daripada penyediaan alat kontrasepsi,” kata Ubaid.
Ubaid lantas menyampaikan sikap dari JPPI atas aturan penyediaan alat kontrasepsi untuk remaja dan anak usia sekolah. Ada tiga poin yang menjadi sikap JPPI.
Pertama, JPPI meminta pemerintah mencabut PP 28/2024 karena merusak masa depan anak.
Peraturan ini jelas merusak masa depan anak-anak Indonesia. Jika dipaksakan, mereka kian akan terpapar kekerasan seksual dan juga pornografi di lembaga pendidikan, kata dia.
Selain itu, kata Ubaid, aturan ini juga dibuat diam-diam dan tidak melibatkan publik secara luas. Padahal, beleid ini sangat terkait hajat hidup orang banyak, terutama orang tua dan anak-anak usia sekolah.
Kedua, JPPI menolak penyediaan alat kontrasepsi pada anak di sekolah.
Yang mereka butuhkan adalah edukasi pendidikan kesehatan reproduksi, bukan kebutuhan alat kontrasepsi. Penyediaan alat kontrasepsi yang salah tempat, berakibat pada banyaknya kasus penyalahgunaan alat kontrasepsi pada anak, yang berujung pada jebakan kasus kekerasan pada anak, kata Ubaid.
Ketiga, JPPI meminta pemerintah menguatkan pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah.
Ubaid berujar anak usia sekolah harus fokus pada proses pendidikan reproduksi di sekolah, bukan malah melakukan kegiatan aktif penggunaan alat kontrasepsi. Sebab, anak usia sekolah, belum dianggap sah untuk memberikan persetujuan seksual (age of consent).
“Ini harus digarisbawahi, age of consent harus mengikuti usia sah menikah berdasarkan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, yaitu 19 tahun. Jadi, penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah harus ditolak karena lebih banyak mengundang bahaya, bahkan tidak ada manfaatnya,” kata Ubaid.