wmhg.org – Solidaritas Pelajar West Papua (SPWP) di Wilayah Nabire, Papua Tengah, melaksanakan aksi bisu di Karang Barat, Nabire, Senin (30/9/2024).
Aksi tersebut untuk memperingati 62 tahun penjajahan di Tanah Papua, menyusul dua perjanjian penting, yakni Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962 dan Perjanjian Roma pada 30 September 1962.
Menurut mereka, Perjanjian Roma yang ditandatangani oleh Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat merupakan sebuah kesepakatan yang kontroversial.
Dalam perjanjian tersebut, terdapat 29 pasal yang mengatur berbagai aspek, termasuk Pasal 14 hingga 21 yang berkaitan dengan Penentuan Nasib Sendiri (self determination) berdasarkan prinsip satu orang satu atau one man one vote.
Pasal 12 dan 13 membahas transfer administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB (UNTEA) kepada Indonesia.
Meskipun perjanjian berdampak pada kehidupan rakyat Papua, tidak ada satu pun perwakilan dari masyarakat Papua yang terlibat dalam negosiasi.
Hal tersebut menimbulkan pertanyaan tentang legitimasi klaim Indonesia atas wilayah Papua, terutama setelah penyerahan kekuasaan dari Belanda pada 1 Mei 1963.
Setelah perjanjian tersebut, Indonesia melanjutkan dengan operasi militer dan penumpasan gerakan pro-kemerdekaan rakyat Papua.
Ironisnya, sebelum proses Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) berlangsung, perusahaan Freeport yang berbasis di Amerika Serikat telah menandatangani kontrak pertamanya dengan pemerintah Indonesia pada 7 April 1967.
Dari total 809.337 orang Papua yang berhak , hanya 1.025 orang yang terlibat, di mana hanya 175 orang yang memberikan pendapat. Proses PEPERA yang berlangsung dianggap tidak demokratis, diwarnai dengan teror, intimidasi, manipulasi, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Hingga kini, teror, intimidasi, penahanan, penembakan, bahkan pembunuhan terhadap rakyat Papua masih berlangsung. Menurut korlap aksi, Josua Sani kondisi tersebut menunjukkan bahwa hak asasi rakyat Papua dianggap tidak bernilai oleh Indonesia.
Sejak dilaksanakan PEPERA yang dianggap ilegal, militer Indonesia telah menjalankan operasi militer di seluruh Papua dengan tujuan mengkoloni wilayah tersebut. katanya.
Ia mengemukakan, hingga kini, pemerintah juga melakukan penangkapan dan penembakan terhadap warga sipil, dengan banyak kasus pelanggaran yang tidak pernah diusut tuntas.
Setelah lebih dari 20 tahun penerapan Otonomi Khusus, Papua masih berada di urutan terendah dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia. Banyak kabupaten di Papua, seperti Nduga dan Puncak, mencatat IPM yang sangat rendah.
Data dari BPJS tahun 2022 menunjukkan bahwa jumlah penduduk asli Papua kini tersisa hanya 2.971.340 jiwa dari total 5,4 juta penduduk, jauh tertinggal dibandingkan Papua Nugini yang jumlah penduduknya mencapai 17 juta.
Sementara itu, jumlah pendatang baru yang terus meningkat menyebabkan peningkatan kemiskinan dan penurunan kualitas hidup masyarakat Papua.
Dalam aksi yang diadakan, SPWP menyampaikan sejumlah tuntutan:
- Menyatakan bahwa Perjanjian New York dan Perjanjian Roma adalah ilegal karena tidak melibatkan perwakilan rakyat Papua.
- Segera menarik militer organik maupun non-organik dari Papua demi kemanusiaan dan kedamaian.
- Menghentikan tindakan brutal militer terhadap warga sipil.
- Memecat Kapolres Kabupaten Yahukimo dan mengusut tuntas kasus penembakan Tobias Silak dan Naro Dapla.
- Menghentikan militerisasi pendidikan di Papua dan memberikan pendidikan gratis 100% untuk orang asli Papua.
- Menuntut negara Republik Indonesia bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia di Papua.
- Pemerintah Indonesia di bawah rezim Jokowi diharapkan segera bertanggung jawab atas pengungsian dan investasi yang dikelola di Papua.
- Mendesak Indonesia untuk melaksanakan referendum di bawah pengawasan PBB untuk menyelesaikan akar konflik di Papua.
Kontributor : Elias Douw