wmhg.org – JAKARTA. Bank Indonesia (BI) mencatat jumlah uang beredar dalam arti luar (M2) pada Oktober 2024 mencapai Rp 9.078,6 triliun atau tumbuh 67% secara tahunan atau year on year (yoy). Hanya saja, pertumbuhan ini melambat jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang tumbuh 7,2% yoy.
Ekonom Senior Bright Institute Awalil Rizky menilai, pertumbuhan M2 saat ini masih lebih baik dibanding pertumbuhan selama tahun 2023, pada Desember 2023 yang hanya sebesar 3,50% yoy.
Meski demikian, pertumbuhan uang beredar arti luas (M2) ini lebih lambat dibanding tahun-tahun sebelumnya lagi. Yakni: 12,53% (2020), 13,97% (2021), dan 8,35% (2022). Ia menyebut, pertumbuhan M2 pada 2023 dan 2024 yang relatif rendah ini, menandakan likuiditas perekonomian relatif mengering.
“Dan sepanjang tahun 2024 besar kemungkinan hanya akan bertahan kisaran 7% yoy,” tutur Awalil kepada Kontan, Jumat (22/11).
Melihat lebih dalam terkait beberapa data pendukung lainnya, Ia melihat adanya perlambatan yang signifikan pada simpanan masyarakat di bank atau dana pihak ketiga(DPK). Meski kredit masih tumbuh lebih cepat dari DPK, namun juga mulai terjadi perlambatan.
Pada Oktober 2024 DPK hanya tumbuh 6% yoy, atau mencapai Rp 8.460,6 triliun, lebih rendah dari bulan sebelumnya yang tumbuh 6,7% atau mencapai Rp 8.434,1 triliun.
“Bisa saja dikatakan bahwa M2 masih tumbuh, namun dalam konteks likuiditas perekonomian telah mulai ada kekeringan. Jika DPK dicermati lebih jauh, maka yang tumbuh cukup tinggi hanya simpanan kelompok (tier) atas, terutama yang di atas Rp1 miliar,” ungkapnya.
Sementara terkait kredit, tampak kredit UMKM tumbuh lebih lambat dibanding kredit kepada korporasi. Kemudian, dari aspek jangkauan atau penerima kredit tidak terjadi penambahan berarti. Menurunnya, kredit tumbuh lebih karena penambahan plafon kepada debitur yang telah ada.
Lebih lanjut, Awalil menyampaikan, apabila dihubungkan dengan perkembangan uang inti (M0), data kepemilikan Bank Umum atas Surat Berharga Negara (SBN) dan lainnya, terdapat gejala tambahan uang beredar hanya makin terbatas dalam dinamika transaksi tertentu yang kurang menggerakan sektor riil.
“Tantangan ke depan bagi Pemerintah (kebijakan fiskal) dan BI (kebijakan moneter) dan OJK (kebijakan perbankan) adalah mengalirkan uang lebih ke bawah, kepada sektor riil, serta ke saku masyarakat pada umumnya,” terangnya.
Nah, untuk mengeluarkan uang lebih ke bawah, menurutnya bisa dilakukan dengan mendorong lebih banyak kredit UMKM, aturan OJK kepada bank atas kredit umkm di relaksasi, porsi bank umum memiliki surat berharga, khususnya sbn dibatasi.
Serta Bank Indonesia sebaiknya ekspansif bukan absorpsi, dan dari sisi fiskal belanja APBN disisir agar porsi yang bisa langsung ke masyarakat meningkat, tandasnya.