wmhg.org – JAKARTA. Fenomena pergantian jajaran petinggi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali marak terjadi seiring dengan bergantinya rezim pemerintahan.
Dalam beberapa bulan terakhir, beberapa BUMN mengalami pergantian direksi dan komisaris. Nama-nama baru yang terafiliasi dengan kubu pemerintahan Prabowo Subianto mulai mengisi posisi strategis di perusahaan-perusahaan pelat merah.
Sebagai contoh, pada pertengahan Juli 2024, Kementerian BUMN menunjuk Burhanuddin Abdullah sebagai Komisaris Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN menggantikan Agus Martowardojo. Burhanuddin sendiri merupakan Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran saat Pilpres 2024 lalu.
Pada saat yang sama, Andi Arief, Politisi Partai Demokrat yang berada dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) juga diangkat menjadi Komisaris Independen PLN.
Holding BUMN Pertambangan MIND ID juga mengalami pergantian direksi/komisaris pada Juni lalu. Kala itu, Grace Natalie yang merupakan politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) atau bagian dari KIM menjadi Komisaris MIND ID.
Baru-baru ini juga, berhembus isu bahwa PT Pertamina (Persero) bakal berganti pucuk pimpinan. Dalam hal ini, Simon Aloysius Mantiri disebut-sebut akan menjadi Direktur Utama Pertamina, menggantikan Nicke Widyawati. Simon berlatarbelakang sebagai Wakil Sekretaris Dewan Pembina DPP Gerindra, partai yang diketuai oleh Prabowo.
Tak hanya Direktur Utama, Pertamina juga diisukan berganti Komisaris Utama. Mochamad Iriawan atau akrab dipanggil Iwan Bule diisukan akan mengisi posisi Komisaris Utama Pertamina. Iwan Bule pernah menjadi Ketua PSSI sebelum era Erick Thohir.
Pengamat BUMN dari Datanesia Institute Herry Gunawan mengatakan, fenomena yang terjadi belakangan ini menunjukkan bahwa BUMN masih lekat dengan persoalan politik. Hal ini sangat disayangkan dan semestinya tidak terjadi. “Tapi sistem yang membuat kondisi BUMN seperti itu,” kata dia, Kamis (24/10).
Dia menambahkan, dalam Undang-Undang (UU) BUMN yang sekarang, Menteri BUMN menjadi wakil pemerintah sebagai pemegang saham atau sebagai kuasa pemegang saham BUMN. Kondisi ini dinilai dapat berbahaya jika Menteri BUMN memiliki hasrat politik. Ada risiko moral hazard dari Menteri BUMN yang bisa menjadikan BUMN sebagai alat tawar kepentingan politik.
Kepentingan politik berpotensi membuat Manajemen BUMN sulit bekerja secara profesional. Hal ini tentu bisa berdampak pada memburuknya tata kelola usaha di ranah BUMN yang terjebak dalam kepentingan politik praktis.
Dalam prinsip penerapan tata kelola usaha yang baik, aspek independensi BUMN menjadi taruhan ketika aktor-aktor politik menduduki jabatan strategis di perusahaan pelat merah. Padahal dalam aspek ini, pengelolaan BUMN harus profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak mana pun.
Akibat BUMN yang lekat dengan kepentingan politik, ada kasus-kasus di mana orang yang belum pernah bekerja atau tanpa pengalaman di dunia korporasi maupun aktivitas sosial lain, justru tiba-tiba bisa menjadi komisaris hanya karena dia menjabat sebagai staf khusus menteri.
Ada pula kasus di mana banyak pejabat kementerian yang juga bekerja sampingan sebagai komisaris. Fenomena ini sangat buruk, karena regulator merangkap sebagai operator. Akibatnya, kontrol terhadap BUMN menjadi lemah dan kasus-kasus korupsi rawan terjadi.
“Untuk itu, menurut saya, kehadiran Danantara yang akan menjadi superholding BUMN menjadi angin segar agar Indonesia punya BUMN yang profesional dan bisa berkembang besar,” pungkas dia.