wmhg.org – JAKARTA. Sesuai Pasal 7 ayat (1) huruf b UU PPN (hasil revisi UU HPP), tarif PPN sebesar 12% mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025. Meski begitu hingga saat ini kinerja PPN Indonesia masih berada di Bawah Thailand dan Singapura.
Fungsional Penyuluh Pajak Ahli Madya Dedi Kusnadi menjelaskan kinerja PPN Indonesia pada tahun 2018 menjadi perhitungan untuk UU HPP yang disahkan ada tahun 2021. Ia melihat kinerja PPN Indonesia masih berada di bawah Thailand dan Singapura, dimana tarif PPN di Indonesia berada di level 10%, sementara Thailand dan Singapura 7%.
Sementara Malaysia itu 6%, Filipina 12% dan rata-rata negara lainnya itu 18%, ungkap Dedi dalam Webinar Nasional, Selasa (15/10).
Meski begitu, C-efficiency PPN Indonesia tercatat 63,58%. Artinya Indonesia baru bisa mengumpulkan 63,58% dari PPN yang seharusnya bisa dipungut. Menurut Dedi hal itu karena masih terdapat barang dan jasa yang belum masuk ke sistem. Selain itu juga disebabkan masih banyaknya fasilitas PPN yang diberikan.
Sementara, negara lain seperti Sinagpura mencapai 92,69% bahkan Thailand itu 113,83% karena di sana produk-produk pertanian juga dikenakan PPN, kalau di Indonesia tidak dikenai PPN, jelasnya.
Dedi menyebutkan jika dibandingkan dengan rata-rata negara Mexico dan Turki Indonesia masih lebih baik. Mexico berada pada level 37,88% dan Turki 46,96%. Ttetapi jika dibandingkan dengan Afrika Selatan 70,24% dan Argentina 83,71% maka kinerja PPN Indonesia masih berada di bawah.
Maka Dedi menambahkan, yang menjadi latar belakang pengaturan kembali PPN Indonesia adalah untuk memperluas basis pemajakan, seperti pemajakan non Barang Kena Pajak (BPK) dan non Jasa Kena Pajak (JKP) menjadi BKP dan JKP sehingga dapat masuk ke dalam system. Kemudian juga tingginya tax expenditure.
Tax expenditure ini dari PPN menyumbang 65% artinya pemerintah mengeluarkan biaya sangat besar yang sebenarnya adalah potensi pajak melalui insentif dan fasilitas, ujarnya.