wmhg.org – JAKARTA. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengungkapkan sejumlah faktor penyebab industri dalam negeri melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Iqbal yang juga Presiden Partai Buruh menjelaskan, faktor tersebut ialah banjirnya barang-barang tekstil impor yang menggerus industri tekstil di Tanah Air.
Untuk itu, ia meminta pemerintah untuk mencabut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2023 yang memperbolehkan impor tekstil.
“Penyebab lain industri garment tekstil hancur itu Permendag no 8/2023 nggak dicabut, yang memperbolehkan impor tekstil yang dikejar pemain kelas bawah, kejar itu importir-importir yang besar,” ujarnya dalam konferensi pers daring, Minggu (27/10).
Iqbal mengatakan, banjirnya barang impor tersebut diperburuk dengan daya beli (purchasing power) masyarakat yang rendah. Menurutnya, daya beli yang rendah ini dipengaruhi oleh upah buruh yang kecil.
“Penyebab daya beli turun adalah deflasi, penyebab deflasi adalah upah buruh di 3 tahun sebelumnya nggak pernah naik, 2 tahun terakhir naik upahnya di bawah inflasi penyebabnya adalah omnibuslaw kedua adalah impor dari China,” katanya.
Selain mencabut Permendag tersebut, lanjut Iqbal, pemerintah diminta untuk membantu perusahaan-perusahaan yang kesulitan membayar hutang dengan metode homologasi di mana tenor pembayarannya bisa diperpanjang.
Kemudian, kata Iqbal, kenaikan upah bakal berdampak pada penciptaan lapangan kerja baru, di mana ini akan mendorong naiknya daya beli sehingga nilai konsumsi masyarakat naik dan pertumbuhan ekonomi pun akan terkerek.
“Indonesia penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi itu konsumsi 54%, jadi kalau konsumsi naik pertumbuhan ekonomi akan naik. Kalau pertumbuhan ekonomi naik, lapangan kerja baru akan terbentuk. Pemerintahan yang lalu, setiap 1% pertumbuhan ekonomi akan menyerap 300 ribu – 400 ribu tenaga kerja baru,” tandasnya.
Untuk diketahui, KSPI menuntut kenaikan upah minimum sebesar 8% hingga 10% pada tahun 2025.
Kenaikan upah minimum tidak seharusnya merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023, karena PP tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja yang masih dalam tahap uji materiil.
Lalu, KSPI juga menyerukan pencabutan Omnibus Law UU Cipta Kerja, terutama pada klaster ketenagakerjaan dan petani, yang kini sedang dalam tahap peninjauan oleh Mahkamah Konstitusi.