wmhg.org – Baru-baru ini, acara Sekaten Kraton Solo di Masjid Agung Surakarta diwarnai kerusuhan ketika tradisi tabuh gamelan dimulai. Kerusuhan itu berawal dari perdebatan mengenai siapa yang berhak untuk menabuh gamelan pertama kali atau prosesi Ngungelaken Gangsa dalam kegiatan tersebut.
Ironisnya, menantu SISKS Pakubuwana XIII Hangabehi, KRA Rizki Baruna Aji Diningrat menjadi korban dalam kerusuhan itu karena didorong dan dicekik orang tak dikenal. Tradisi tabuh gamelan Sekaten yang seharusnya mengawali proses skaral dan syarat budaya tercoreng karena ada aksi saling dorong ini.
Sontak saja, acara Sekaten yang digelar pada Senin (9/9/2024) siang itu menjadi pusat perhatian masyarakat. Banyak juga yang mempertanyakan, seperti apa sejarah dan tradisi tabuh gamelan Sekaten yang sebenarnya?
Sejarah dan Tradisi Prosesi Tabuh Gamelan Sekaten
Sekaten adalah upacara tradisional yang diselenggarakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Upacara Sekaten ini biasanya akan diselenggarakan secara periodik satu tahun sekali, yaitu setiap 5 sampai 11 Rabiul Awal (dalam kalender Jawa disebut Mulud).
Kemudian, upacara akan ditutup pada tanggal 12 Rabiul Awal dengan menyelenggarakan Grebeg Maulud. Grebeg adalah tradisi masyarakat Solo untuk memperebutkan berbagai macam hasil bumi yang disusun menjadi beberapa gunungan.
Sementara itu, sekaten sendiri berasal dari kata syahadatain, yang berarti dua kalimat syahadat. Di mana secara simbolik, dua kalimat syahadat itu direpresentasikan dalam dua perangkat gamelan Sekaten, yaitu Kanjeng Kyai Guntur Sari dan Kanjeng Kyai Guntur Madu yang ditabuh secara bergantian.
Gamelan Sekaten adalah perangkat gamelan yang dibunyikan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, di mana gamelan ini akan dibunyikan selama tujuh hari. Dua perangkat gamelan itu ditempatkan di tempat yang berbeda, yaitu di Bangsal Pradangga Kidul dan Bangsal Pradangga Lor yang keduanya terletak di halaman Masjid Agung di kawasan Keraton Surakarta.
Gamelan Sekaten tidak terlepas peranan kerajaan-kerajaan Islam ketika para wali di Jawa menyebarkan ajaran agama Islam. Saat Islam masuk ke Jawa, masyarakat setempat telah memeluk agama Hindu dan Buddha yang menyertakan gamelan sebagai kesenian atau upacara ritual.
Dengan kondisi masyarakat itulah, lantas Sunan Kalijaga mengusulkan untuk menggunakan gamelan sebagai daya tarik penyebaran agama Islam. Gamelan Sekaten sebagai penyebaran Islam telah dilakukan oleh para walisanga sejak Kesultanan Demak.
Nah, budaya ini masih dipertahankan hingga masa sekarang, salah satunya oleh Kasunanan Solo dan Kasultanan Yogyakarta. Jika di Keraton Yogya, gamelan sekaten-nya diberi nama Gamelan Sekati yang terdiri dari dua rancak yaitu Kyai Guntur Madu dan Kyai Nogo Wilogo.
Prosesi Tabuh Gamelan Sekaten
Diketahui, bahwa anatomi gendhing sekaten secara lengkap terdiri dari racikan, umpak, gendhing (lagu pokok), dan suwukan.
Racikan adalah komposisi musikal yang merupakan pengenalan dalam setiap gendhing Sekaten, sedangkan umpak adalah potongan melodi yang digunakan sebagai jembatan dari racikan menuju lagu pokok.
Lalu, suwukan adalah melodi pendek yang khusus dibunyikan saat gendhing akan berhenti. Racikan inilah yang diekspresikan pengrawit (musisi) menggunakan instrumen bonang dengan serangkaian melodi.
Sementara itu, instrumen lainnya akan memberikan keserempakan bunyi dengan nada yang sama. Penyajian gending yang berpasangan adalah penerapan konsep budaya Jawa, yaitu keseimbangan hidup. Di mana dalam budaya Jawa, keseimbagan sangat penting karena erat kaitannya dengan citra nilai-nilai etika dan estetika budaya.
Kontributor : Rishna Maulina Pratama