wmhg.org – Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, membeberkan enam bahaya food estate yang dianggap sebagai politik pangan, sampai sebuah program gagal yang terulang.
Dewi mengatakan food estate merupakan program yang tidak ada bedanya dengan program pemerintah sebelumnya. Ia menyebut bedanya hanya pergantian narasi yang membuat program tersebut seolah-olah menjadi baru.
Hal ini disampaikan Dewi dalam Diskusi Publik berjudul Food Estate Sumatra Utara Pasca Perpres Badan Otorita yang dipantau di Khanah KPA, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Senin (16/12/2024).
Dan sebenarnya tidak ada perubahan yang sangat fundamental, antra yang diulang untuk menggelontorkan satu program yang seolah-olah baru, tetapi sebenarnya hanya bajunya saja yang baru, hanya pergantian namanya saja, tapi sebenarnya skemannya tetap, kata Dewi.
Lantas apa yang membuat food estate ini menjadi berbahaya? Simak uraian berikut ini.
1. Politik Pangan Nasional
Dewi menjelaskan food estate menjadi berbahaya karena masalah politik pangan, menurutnya hal ini hanya formula-formula dari perbandingan program saja.
Jadi yang pertama adalah bagaimana food estate itu kenapa berbahaya, karena ini masalah politik pangan, itu kan sebenarnya formula-formula pembangunan pertandingan pangan yang bahkan sejak Orde Baru pun seperti itu. Sehingga seharusnya yang kita kritisi adalah soal masalah politik pangan nasional kita, yang lebih berbasiskan pada pertandingan pangan berbasiskan korporasi, jelas Dewi.
Jadi itu memperparah politik pangan nasional kita, yang sebenarnya intinya adalah ingin menggeser atau mengganti posisi petani, termasuk nelayan, termasuk petambak, petak nak rakyat, sebagai produser pangan yang pertama kepada kelompok-kelompok korporasi pangan kita, sambungnya.
2. Perampasan Tanah
Program food estate bisa dianggap berbahaya kata Dewi, karena sabagai praktik halus perampasan tanah, khususnya bagi para petani dan masyarakat adat di masing-masing tempat.
Yang kedua, tentu kita bicara soal masalah perampasan tanah, sebenarnya adalah gaya-gaya juga spekulan tanah, akumulasi tanah, bagaimana tanah semakin diorientasikan menjadi barang komoditas yang semakin bebas ditransaksikan, ungkap Dewi.
Meskipun tadi pendekatannya misalnya dengan kerjasama, nanti kalau ada untung kita bagi hasil yang rata dan sebagainya. Tapi ujurnya kan petani atau masyarakat adat di dalam posisi yang dipaksa untuk pada akhirnya nanti akan menyerahkan tanah mereka, sambungnya.
3. Masalah Perusahaan Lingkungan
Selain perampasan tanah, perusahaan lingkungan juga menjadi bahaya bagi program food estate ini, menurut Dewi, sistem monokultur oleh salah satu perusahaan food estate dianggap sebuah pemaksaan.
Maka yang terjadi adalah pemaksaan jenis-jenis tanaman pangan yang memang itu sifatnya adalah pangan komoditas yang diperlukan untuk pasang keluar, kata Dewi.
Jadi perusahaan lingkungan itu sangat berbahaya karena sistem monokultur itu tadi ya, pupuk pesticida dan segala macam itu kan dengan takaran yang sudah berlebihan dapat membuat masyarakat mengkonsumsi produk pangan yang buruk, Dewi menambahkan.
4. Pendekatan Militerisme
Dewi juga mengungkapkan terdapat pendekatan militeristik yang dianggap sangat berbanding terbalik dengan profesi militer yang malah menjadi petani, menurutnya, petani akan tersingkir dengan keberadaan para kelompok militer.
Yang masuk ya Kostrad dan seterusnya. Jadi itu militerisme di bidang pertanian pangan itu sangat berbahaya karena akhirnya kan jadi justru jadi tentara yang bikin cetak sawah baru, melakukan, nyangkul, dan seterusnya. Jadi ini luar biasa kalau ternyata memang posisi petani itu justru disingkirkan oleh kelompok militer, ungkap Dewi.
5. Masalah Regulasi
Selanjutnya masalah regulasi, Dewi meragukan regulasi pada program food estate khususnya di Sumatra Utara untuk mencapai keinginan percepatan food estate.
Menurutnya hal ini bisa dikatakan bagian dari overlap kelembagaan.
Sebenarnya itu fungsi badan ketahanan pangan apa, fungsi kementerian pertanian apa kalau ada badan otorita kawasan food estate di Sumatera Utara, kata Dewi.
Dewi kemudian mengaku ragu Presiden Prabowo Subianto memilikikeberpihakan terkait pangan lokal. Nah soal regulasi ini sebenarnya yang perlu kita cermati adalah kita tuh sebenarnya ragu kalau Presiden sekarang itu sangat punya keberpihakan terhadap pangan lokal, kata dia.
6. Kegagalan yang Terulang
Kemudian Dewi menilai program seperti ini hanya sebagai kegagalan yang diulang dari zaman Soeharto sampai Jokowi, menurutnya food estate hanya pergantian nama program saja.
Karena kita melihat sebenarnya ada masalah soal kegagalan yang terus-menerus diulang. Kita ingat Suharto punya program 1 juta hektare lahan bambu untuk cetak sawah baru, itu gagal dan terjadi perusakan alam, kata Dewi
Kemudian zaman SBY kita punya MIFE, bagaimana membangun pertanian pangan dan energi yang terintegrasi. Kita tahu apa yang terjadi, perampasan tanah wilayah ada, perusahaan lingkungan, banjir dan seterusnya. Kemudian di jaman Jokowi pun begitu, dikemasnya cuma beda. Namanya food estate, tambahnya
Terakhir, Dewi mengharapkan untuk dilakukan kajian komprehensif agar program seperti ini bisa mencapai kesuksesan dan keadilan bagi para petani dan masyarakat adat.
Jadi menurut saya memang perlu banyak dilakukan gajian-gajian yang komprehensif untuk terus membedah, melakukan investigasi, pungkasnya. (Moh Reynaldi Risahondua).