wmhg.org – Penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia dimitna untuk menganut sistem pemilu campuran atau mixed system. Usulan tersebut disampaikan agar tidak ada lagi perdebatan sistem pemilu menggunakan proporsional terbuka atau tertutup.
Hal tersebut disampaikan Pakar Kepemiluan dari Universitas Indonesia Titi Anggraini seperti dilansir Antara.
Sistem pemilu yang bisa jadi opsi adalah sejatinya sistem pemilu campuran supaya kita tidak lagi berdebat soal proporsional terbuka (atau) proporsional tertutup, padahal variasi sistem pemilu dunia itu ada 400 lebih, katanya saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (27/2/2025).
Dalam agenda tersebut Komisi II DPR mendengarkan masukan terkait evaluasi Pilkada Serentak 2024 hingga penataan sistem pemilu.
Lebih lanjut, Titi memaparkan bahwa sistem pemilu campuran memberikan porsi pada kedaulatan rakyat untuk memilih langsung calonnya, sekaligus menjaga peran partai politik sebagai peserta pemilu untuk mempromosikan kader-kadernya.
Masih menurutnya, sistem pemilu campuran mengombinasikan antara sistem distrik berwakil tunggal atau first past the post (FPTP), yakni satu daerah pemilihan (dapil), satu calon legislatif (caleg) dengan sistem proporsional daftar tertutup atau closed-list proportional representation (CLPR).
Bagi masyarakat mereka bisa memilih langsung calegnya lewat sistem pemilu yang berwakil tunggal (first past the post) atau mayoritarian, tetapi juga partai bisa menempatkan kader-kadernya melalui sistem proporsional tertutup untuk mempromosikan kader struktural dan elite yang memang berkontribusi untuk penguatan partai, tuturnya.
Smentara itu, dia mengatakan bahwa sistem pemilu campuran tersebut dipraktikan di sejumlah negara memiliki indeks demokrasi sangat baik, seperti Jerman, Korea Selatan, dan Jepang.
Termasuk negara tetangga kita Thailand pun menerapkan sistem pemilu campuran, ucapnya.
Tak hanya sistem pemilu campuran, Titi juga menyampaikan sejumlah masukan untuk perbaikan pemilihan umum di masa mendatang.
Salah satunya, penyatuan aturan pilkada dan pemilu dalam naskah undang-undang yang sama untuk menjamin koherensi, konsistensi, dan sinkronisasi.
Yang materi muatannya mengatur pemilu legislatif, pemilu presiden, pilkada, dan penyelenggara pemilu dalam satu naskah undang-undang, yaitu Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, ujarnya.
Selain itu, ia juga menyoroti persoalan pemilu serentak agar tidak membebani penyelenggara pemilu dan juga kontestan serta pemilih bisa fokus. Salah satu masukannya , yakni pemerintah membuat dua tipe keserentakan pemilu, yakni pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal.
Pemilu serentak nasional memilih DPR, DPD, dan presiden, dan ini diusulkan dimulai pada 2029. Lalu, kemudian pemilu serentak lokal untuk memilih DPR, DPD, dan kepala daerah secara bersamaan dimulai pada 2031. Baru kemudian pada 2032, serentak seleksi penyelenggara pemilu dilakukan, katanya. (Antara)