wmhg.org – Tensi politik di Indonesia sempat memanas akibat proses Pilkada 2024 hingga sempat terjadi demonstrasi di Jakarta dan beberapa daerah lainnya.
Namun, kondisi tersebut rupanya memperlihatkan kondisi sebagian masyarakat Indonesia yang sebenarnya tengah puber politik dan hanya ikut-ikutan.
Kritik tersebut disampaikan Sosiolog Universitas Padjajaran (Unpad) Yusar Muljadji. Salah satu fenomena puber politik itu terjadi ketika ramai soal peringatan darurat di media sosial.
Ya saya pikir betul juga (masyarakat puber politik) karena terbawa suasana saja. Seperti drama peringatan darurat yang terjadi lalu. Dalam pengamatan saya, kebanyakan mereka tidak paham kondisi riil yang terjadi, kata Yusar kepada .com, dihubungi Senin (2/9/2024).
Akibatnya, diskusi yang berkembang jadi melebar ke isu lain di luar dinamika pilkada yang terjadi.
Salah satunya, kata Yusar, perhatian publik terhadap postingan menantu Presiden Joko Widodo, Erina Gudono, yang kala itu masih berada di Amerika Serikat untuk mengurus beasiswa kuliahnya.
Menurut Yusar, pembahasan Erina dan suaminya Kaesang Pangarep di AS tidak ada kaitannya dengan diskusi mengenai proses Pilkada 2024. Sehingga argumen tentang hal tersebut jadi bersifat ad hominem.
Selain itu, berbagai kelakar yang muncul di media sosial, seperti, rezim yang menyerupai Orde Baru, eksklusi terhadap salah satu tokoh, hingga munculnya istilah-istilah Mahkamah Keluarga serta “kawal MK”.
Ramai tagar-tagar tertampil di media sosial, tetapi benarkah kondisi darurat hanya 1-2 hari? Ini menunjukkan bahwa masyarakat kita, khususnya netizen tidak cakap literasi politik namun karena sedang ramai, maka masuklah ke dalam keramaian tersebut, kritik Yusar.
Psikolog sosial Hening Widyastuti juga menyampaikan bahwa keterbukaan informasi di media sosial membuat masyarakat mudah mengutarakan pendapat hingga seolah menjadi pengamat politik dadakan.
Itu fenomena yang terjadi di sekitar kita, alamiah sebenarnya. Dengan era digital, semua informasi juga ada, akhirnya masyarakat lebih mudah untuk bicara, menjadi komentator, kata Hening.
Namun buruknya, terkadang perkataan di media sosial itu tidak dipertimbangkan dengan matang lantaran disampaikan atas dasar kekecewaan terhadap proses politik yang terjadi.