wmhg.org – Perempuan di perkotaan dengan pendidikan SMA ke atas serta memiliki pekerjaan rupanya lebih banyak alami tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dibandingkan yang tinggal di pedesaan dan pendidikan SMP ke bawah.
Temuan itu berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).
Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA Ratna Susianawati menyebutkan, hasil Survei menunjukkan terdapat 1 dari 5 perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami KDRT dalam setahun terakhir. KDRT itu cenderung lebih banyak dialami oleh perempuan yang tinggal di perkotaan.
Terdapat 21,4 persen perempuan usia 15-64 tahun di Indonesia yang tinggal di perkotaan memiliki pengalaman KDRT dalam setahun terakhir. Angka prevalensi tersebut lebih tinggi dibandingkan perdesaan yang mencapai 19,2 persen, kata Ratna dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (7/10/2024).
Menurut Ratna, kasus kekerasan kepada perempuan di perkotaan memang mudah terungkap karena akses dan layanan internet yang lebih canggih. Selain itu, perempuan dengan tingkat pendidikan lebih tinggi dan pekerja cenderung memiliki daya pikir lebih terbuka dan kritis terhadap tindak kekerasan yang dia alami.
Senada dengan itu, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Woro Srihastuti juga menyampaikan bahwa budaya patriarki turut juga jadi salah satu faktor penyebab kekerasan.
Dia menganalisa kalau perempuan dengan pendidikan lebih tinggi biasnya memiliki cara berpikir lebih maju, sayangnya hal tersebut tidak didukung oleh pasangannya.
Pendidikan lebih tinggi membuat perempuan berpikir lebih maju. Sementara budaya patriarki kita masih kental, sehingga akibatnya yang SMP cenderung lebih menurut, kata Woro.
Perempuan pekerja juga lebih banyak jadi korban KDRT akibat tidak ada kompromi di dalam keluarga, terutama pasangannya.
Semakin tinggi pendidikan mereka makin terbuka. Ingin bekerja di luar, ingin berkarya di luar, ingin bisa aktualisasikan diri di luar, sementara budaya patriarki masih lekat. Itu lah yang menyebabkan relasi kuasa jadi tidak seimbang, ujarnya.