wmhg.org – JAKARTA. Pemerintah bakal mengenakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12% hanya untuk barang mewah. Pengenaan tarif ini mulai berlaku pada 1 Januari 2025.
Fajry Akbar, pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menilai, bila hanya dikenakan pada barang mewah saja, misalnya pada barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM), maka penerimaan pajak yang diperoleh pemerintah tidak akan signifikan.
“Jika kenaikan hanya pada objek yang selama ini kena PPnBM maka kenaikannya dilakukan secara sempit. Salah satu konsekuensinya adalah potensi penerimaan yang semakin kecil,” tutur Fajry kepada Kontan, Jumat (6/12).
Hitungan kasar Fajry, tarif PPN 12% untuk bawang mewah hanya akan mendatangkan setoran pajak sekitar Rp 1,7 triliun.
Selama ini, penerimaan pajak dari penjualan barang mewah atau PPnBM memang tidak terlalu signifikan. Pasalnya transaksi barang mewah jauh lebih sedikit, karena hanya dilakukan oleh segelintir orang kaya saja.
Untuk diketahui, penerimaan PPnBM 2023 hanya mencapai Rp 24,9 triliun, dengan penerimaan tersebut paling besar disumbang dari kendaraan bermotor dengan tarif yang dikenakan sebesar 15%.
Fajry menilai, alih-alih menerapkan tarif PPn 12% hanya untuk barang mewah saja, lebih baik pemerintah menaikkan sekaligus tarif PPnBM, dengan membatalkan kenaikan tarif PPN menjadi 12%.
“Jika kenaikan tarif PPN hanya berlaku pada objek PPnBM saja, bukankah lebih baik jika Pemerintah menaikkan tarif PPnBM saja? Ini menjadi pertanyaan besar, terlebih kenaikan tarif PPnBM bisa dinaikan lebih dari 1%. Lebih masuk akal untuk mendanai program pemerintah,” jelasnya.
Fajry juga menilai, jika kebijakan PPN dengan multitarif ini diberlakukan pada barang mewah, dan tak hanya pada objek PPnBM, hal ini akan menimbulkan kompleksitas dalam sistem PPN.
Menurutnya, penerapan di lapangan akan terjadi peningkatan dispute. Disamping itu, pemerintah juga dinilai harus mendefinisikan barang mewah tersebut dalam regulasi dan barang mana yang akan mengalami kenaikan.
“Ini akan menambang deg-degan dan ketidakpastian pelaku usaha,” ungkapnya.
Ia menambahkan, pernyataan kenaikan tarif PPN hanya untuk kelompok barang mewah hanya akan menimbulkan ketidakpastian bagi para pelaku usaha.
Padahal, lanjut Fajry, implementasi kenaikan tarif tersebut kurang dari sebulan lagi, sehingga pelaku usaha perlu siap-siap.
“Seharusnya, dengan rentang waktu yang singkat ini, pemerintah tidak lagi beropini tapi mengeluarkan kebijakan yang pasti dijalankan. Keluarkan aturannya regulasinya baru bicara,” tandasnya.
Akan tetapi, bila tarif PPN 12% naik dan dikenakan kepada barang secara umum, maka pemerintah perlu menyiapkan antisipasi baik dari peningkatan perlindungan sosial, maupun pengendalian inflasi.