wmhg.org – JAKARTA. Nilai tukar rupiah terus mengalami tekanan seiring dengan kebijakan yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Tekanan ini diperkirakan masih akan berlanjut setidaknya dalam jangka pendek.
Pada Selasa (4/2), nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup pada level Rp 16.351 per dolar AS, menguat 0,59% dibandingkan penutupan sebelumnya di Rp 16.448 per dolar AS.
Rupiah bahkan menjadi mata uang dengan penguatan terbesar di Asia. Namun, level ini mendekati titik terlemah saat pandemi Covid-19 pada Juni 2020, yaitu Rp 16.400 per dolar AS.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas Bank Indonesia (BI), Edi Susianto, menyatakan bahwa penguatan rupiah didukung oleh sentimen global yang kondusif serta suplai valas yang cukup besar dari pelaku pasar.
BI hanya melakukan intervensi untuk menjaga stabilitas guna meningkatkan kepercayaan pelaku pasar dalam menyuplai valas ke pasar, ujar Edi kepada KONTAN, kemarin.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, memperkirakan rupiah akan kembali melemah, sejalan dengan prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih berada di bawah 5%.
Dari sisi eksternal, data ketenagakerjaan AS yang diperkirakan melonggar dapat membantu menahan pelemahan rupiah. Dalam jangka pendek, rupiah diperkirakan akan bergerak di kisaran Rp 16.300–Rp 16.500 per dolar AS, ujar Josua kepada KONTAN.
Ia menambahkan bahwa kebijakan perdagangan Trump akan menciptakan ketidakpastian pada paruh pertama tahun ini, sementara imbal hasil US Treasury dan indeks dolar diperkirakan tetap tinggi.
Namun, kejelasan kebijakan Trump pada paruh kedua tahun ini dapat mendukung moderasi pergerakan indeks dolar. Selain itu, terdapat potensi penurunan suku bunga The Fed sebesar 25-50 basis poin (bps), yang dapat membantu menopang nilai tukar rupiah.
Sementara itu, Ekonom Global Markets Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, menilai bahwa pasar keuangan domestik masih akan mengalami volatilitas selama awal periode kedua pemerintahan Trump, sehingga berdampak pada nilai tukar rupiah.
Level resisten rupiah di Rp 16.576 per dolar AS masih cukup kuat, ujar Myrdal kepada KONTAN, Selasa (4/2).
Ia juga mengakui adanya potensi arus keluar modal asing. Namun, menurutnya, fundamental ekonomi domestik masih tetap solid, didukung oleh konsistensi surplus neraca perdagangan yang mencapai sekitar 2 miliar dolar AS per bulan. Selain itu, investasi asing langsung ke Indonesia juga terus masuk.
Sementara itu, kepemilikan asing dalam Surat Utang Negara (SUN) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) telah mengalami penurunan signifikan. Kepemilikan asing di SUN kini kurang dari 15%, sedangkan di SRBI kurang dari 25%, tutup Myrdal.