wmhg.org – Kepala Bidang Pengawasan PT Timah Musda Anshori mengungkapkan masifnya penambangan ilegal yang terjadi di wilayah izin usaha penambangan (IUP) PT Timah.
Dia menjelaskan bahwa penambangan ilegal menjadi masif sejak PT Timah mulai bekerja sama dengan lima perusahaan smelter pada 2019.
Hal itu disampaikan Anshori saat menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan korupsi pada pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk tahun 2015-2022 untuk terdakwa Harvey Moeis, Suparta, dan Reza Andriansyah dari pihak PT Refined Bangka Tin.
Awalnya, dia mengatakan bahwa sejak 2019 peningkatan produksi timah menjadi melimpah. Hal tersebut berbanding terbalik dengan hasil produksi pada tahun sebelumnya, 2018.
“Ada pasokan biji yang semakin melimpah di 2019, Saudara tahu apakah ini terkait dengan perjanjian dengan lima smelter tadi?” kata hakim di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (2/9/2024).
“Iya, itu ada efek besarnya terkait dengan itu. Jadi, dari situ kita sangat signifikan penambahan produksinya dari sebelumnya,” ucap Anshori.
Meski begitu, dia mengungkapkan bukan hanya hanya produksi biji timah yang meningkat, melainkan juga jumlah penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah yang juga makin marak.
“Artinya, kegiatan-kegiatan penambangan ilegal ini kan ada, PT Timah ini punya batasan pak. Saya jelaskan sedikit sebagai kepala bidang pengawasan tambang, kita punya IUP di dalamnya tidak bisa kita terbitkan semuanya surat pak. Jadi, ada kawasan hutan segala macem itu tidak bisa kita terbitkan surat. Jadi, mungkin yang berasal berasal dari situ ada yg dikerjakan masyarakat secara tradisional dan sudah dikerjakan secara agak lebih modern,” tutur Anshori.
“Jadi, di situlah sebenarnya produksi-produksi sampai dengan saat ini produksi yang masuk dan itu lah selama ini yang tidak masuk PT Timah. Jadi, produksi kita di 2018 itu drop, produksi sekitar 75 persen itu dari kompetitor kita, 25 persennya dari PT Timah padahal wilayah IUP pertambangan kita lah yang memiliki paling luas sekitar 90 persen,” tambah dia.
Lebih lanjut, Anshori juga mengungkapkan bahwa penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah tidak hanya dilakukan secara tradisional tetapi juga modern dengan alat berat.
Bukan hanya itu, dia menyebut penambangan juga dilakukan di wilayah dalam kategori ‘abu-abu’ seperti kawasan hutan dan lepas pantai.
Dalam kasus ini, Harvey Moeis disebut melakukan pertemuan dengan Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku Direktur Utama PT Timah dan Alwin Akbar selaku Direktur Operasional PT Timah serta 27 pemilik smelter swasta lainnya untuk membahas permintaan Mochtar dan Alwi atas bijih timah sebesar 5 persen dari kuota ekspor smelter swasta tersebut.
Selain itu, Harvey juga didakwa melakukan permintaan kepada sejumlah perusahaan penambang timah swasta untuk melakukan pembayaran biaya pengamanan sebesar USD 500-750 per ton yang seolah-olah dicatat sebagai Corporate Social Responsibility (CSR) yang dikelola oleh terdakwa atas nama PT Refined Bangka Tin, dengan total Rp420 miliar.
Perusahaan-perusahaan tersebut yaitu, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Bina Sentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Internusa.
Dalam surat dakwaannya, jaksa menyebut menerima uang panas Rp420 miliar dari tindak pidana korupsi tata niaga wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk (TINS) periode 2015-2022.
“Memperkaya Harvey Moeis, dan Helena Lim setidak-tidak ya Rp420 miliar” kata jaksa di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (31/7/2024).
Atas perbuatannya, Harvey Moeis didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Tahun 2010 tentang tindak pidana pencucian uang (TPPU).