wmhg.org – Perlindungan terhadap perempuan dinilai makin kuat setelah disahkannya Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pada masa pemerintahan Joko Widodo. UU tersebut disahkan oleh DPR pada 2022 lalu setelah lebih dari 10 tahun mangkrak.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Perempuan periode 2019-2024, Bintang Puspayoga, kala itu, menyatakan bahwa terbitnya UU TPKS merupakan wujud nyata kehadiran negara dalam upaya mencegah dan menangani segala bentuk kekerasan seksual.
UU TPKS akan melindungi dan memulihkan korban, melaksanakan penegakan hukum, merehabilitasi pelaku, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, serta menjamin ketidakberulangan terjadinya kekerasan seksual,” kata Bintang.
Menurutnya, undang-undang tentang TPKS memberikan manfaat ketika diimplementasikan khususnya bagi korban kekerasan seksual di Perguruan Tinggi dengan memberikan payung hukum yang kuat dan menjadi upaya pencegahan terjadinya kasus kekerasan seksual di lingkungan Perguruan Tinggi.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berharap RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) segera disahkan. Presiden keenam tersebut ingin ada perlindungan maksimal terhadap korban kekerasan seksual.
Saya berharap RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini segera disahkan sehingga dapat memberikan perlindungan secara maksimal bagi korban kekerasan seksual di Tanah Air, kata Jokowi, beberapa waktu silam.
Jokowi memerintahkan Menkumham dan Menteri PPPA segera melakukan koordinasi dan konsultasi dengan DPR dalam pembahasan RUU TPKS tersebut. Jokowi meminta ada langkah-langkah percepatan.
Saya juga telah meminta kepada gugus tugas pemerintah yang menangani RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk segera menyiapkan daftar inventarisasi masalah terhadap draf RUU yang sedang disiapkan DPR RI, ujar Jokowi.
Sehingga proses pembahasan bersama nanti lebih cepat. Masuk ke pokok-pokok substansi untuk memberikan kepastian hukum serta menjamin perlindungan bagi korban kekerasan seksual, katanya.
Terdapat beberapa poin penting terkait UU TPKS tersebut yang menjadi wujud perlindungan negara terhadap korban kekerasan seksual, di antaranya:
1. Menjangkau penanganan kekerasan seksual dalam UU lain
Sebelumnya, penanganan kasus kekerasan seksual diatur atau tersebar dalam sejumlah UU. Masing-masing yakni, UHP, UU Perlindungan Anak, UU PKDRT, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTTPO) dan UU Pornografi.
Sekarang, semua pengaturan terkait kasus tindak pidana kekerasan seksual yang tersebar dalam sejumlah UU tersebut juga diatur UU TPKS. Bahkan, beberapa pasal dalam UU TPKS juga memperbarui pasal-pasal yang ada di UU sebelumnya.
2. Hak perlindungan hingga pemulihan korban
Diatur dalam pasal 67, korban kekerasan seksual memiliki tiga hak, meliputi hak atas penanganan; hak atas perlindungan; dan hak atas pemulihan. Pemenuhan atas hak tersebut menjadi kewajiban negara sesuai kondisi dan kebutuhan korban.
Hak atas penanganan misalnya, mendapat dokumen hasil penanganan, layanan hukum, penguatan psikologis, perawatan medis, hingga hak untuk menghapus konten seksual berbasis elektronik yang menyangkut korban.
Kemudian hak perlindungan meliputi, kerahasiaan identitas, tindakan merendahkan oleh aparat yang menangani kasus, hingga perlindungan atas kehilangan pekerjaan, mutasi, pendidikan, hingga akses politik.
Sementara hak pemulihan meliputi, rehabilitasi medis dan mental, restitusi dari pelaku atau kompensasi dari negara, hingga reintegrasi sosial. Pemulihan itu didapat korban mulai proses hingga setelah proses peradilan.
3. Dana restitusi bagi korban
Pasal 30 UU TPKS mengatur soal hak restitusi atau ganti kerugian yang didapat korban kekerasan seksual. Dana restitusi diberikan atas putusan hakim yang menetapkan pelaku bersalah.
Nantinya, penyidik dapat melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan pelaku kekerasan seksual atas izin pengadilan negeri setempat. Namun, restitusi dapat dikembalikan jika perkara tidak jadi dituntut karena tak cukup bukti.
KPPA juga telah menegaskan bahwa UU TPKS sudah bisa dipakai dalam proses hukum kasus kekerasan seksual menggantikan KUHP, meski pemerintah belum keluarkan peraturan pelaksanaan UU tersebut.