wmhg.org – Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, baru berjalan hampir dua tahun. Walau demikian, percepatan pembangunan kota itu dikritik WALHI telah menimbulkan banyak efek domino terhadap daerah lainnya.
Secara konsisten, WALHI tetap menyatakan bahwa pembangunan IKN memperlebar efek kerusakan lingkungan hingga lintas provinsi dan pulau. Salah persoalan yang terjadi seperti, penyediaan bahan material yang diambil dari pulau Sulawesi dan provinsi lain di Kalimantan.
“Hilangnya daya tampung dan dukung lingkungan, di sepanjang pesisir Palu – Donggala Sulawesi Tengah, akibat akitivitas Tambang Galian C, adalah beban untuk pembagunan IKN, kata Manajer Kaampanye Tata Ruang dan Infrastruktur WALHI,Dwi Sawung dalam siaran pers yang diterima wmhg.org, Kamis (15/8/2024).
Dwi menyebut bahwa pemerintah hanya melihat nilai keuntungan proyek saja, tetapi abai terhadap risiko dampak buruk yang terjadi akibat pembangunan tersebut.
WALHI juga menyebut bahwa pemindahan IKN tidak menjawab persoalan krisis ekologis di Jakarta. Saat ini, lima tahun pasca pengumuman, daya rusak IKN terhadap lingkungan dan kehidupan rakyat menjadi fakta yang tidak terbantahkan dari ambisi pembangunan IKN.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) cepat yang dilakukan pemerintah mencatat 77 ribu kawasan di wilayah IKN merupakan habitat satwa liar. Selain itu terdapat 14 daerah aliran sungai (DAS) di sana yang memiliki area tangkapan relatif kecil, rasio debit besar yang sebagian sungai pasang surut, dan morfologi berbukit dengan curah hujan tinggi.
WALHI berkesimpulan bahwa perubahan pada bentang hutan dan DAS itu akan merusak sistem hidrologi alami. Potensi banjir pun bisa saja tidak dapat dicegah.
Sejak presiden Jokowi mengumumkan memindahkan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur pada 26 Agustus 2019 lalu, WALHI telah menyatakan bahwa ambisi besar presiden Jokowi membangun Ibu Kota Negara baru hanya akan menjadi mesin penghancur lingkungan dan kehidupan rakyat Indonesia, ujar Dwi.
Pembangunan IKN yang diklaim sebagai kota berkelanjutan justru dikritik tidak mampu mempertahankan kawasan hutan. Fakta yang terjadi, WALHI mencatat bahwa sindrom pembangunan IKN malah memperluas daya rusak di daerah lain dengan mengubah fungsi kawasan hutan untuk pembangunan infrastruktur penunjang IKN.