wmhg.org – JAKARTA Pengamat perpajakan tidak sependapat apabila pemerintah kembali memberikan insentif pajak penghasilan pasal 21 ditanggung pemerintah (PPh DTP).
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan bahwa pemberian insentif PPh 21 DTP kurang efektif, mengingat banyak perusahaan yang enggan memanfaatkan.
Mengingat yang mengajukan adalah perusahaan namun yang mendapatkan benefit adalah karyawan. Ada perbedaan kepentingan, ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Selasa (6/8).
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), Memang pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga (RT) pada kuartal II-2024 sebesar 4,93% atau lebih rendah dibandingkan kuartal II- 2023 sebesar 5,22%.
Sedikit tumbuh lebih rendah. Untuk itu, saya belum melihat urgensi pemberian PPh 21, bandingkan dengan pelemahan konsumsi rumah tangga pada saat pandemi Covid-19, katanya.
Di sisi lain, Fajry mengatakan bahwa penerimaan pajak Indonesia sedang cekak. Dan selama ini, kontribusi PPh 21 cukup membantu penerimaan pajak Indonesia.
Oleh karena itu, apabila pemerintah memberikan insentif pajak tersebut, maka akan cukup berisiko bagi kondisi fiskal Indonesia.
Ia khawatir, jika insentif tersebut tetap diberikan, maka defisit akan semakin memburuk dan ujungnya berdampak ke nilai tukar.
Tentu, kalau rupiah semakin tertekan terhadap dolar AS, yang jadi korban adalah konsumen itu sendiri yakni melalui harga barang impor yang lebih mahal, imbuhnya.