wmhg.org – Peristiwa \’penculikan\’ terhadap Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok yang menjadi rangkaian penting hingga proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan pada 17 Agustus 1945, bisa jadi tak terwujud tanpa peran Sukarni.
Pemilik nama lengkap Sukarni Kartodiwirjo barangkali bukanlah sosok sentral dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, tetapi ia memiliki peran krusial pada detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Profil Sukarni Kartodiwirjo
Sukarni lahir pada Kamis Wage 14 Juli 1916 di Desa Sumberdiran, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.
Sukarni merupakan anak keempat dari sembilan bersaudara. Mereka yakni Hono, Sukarmilah, Sukardi, Suparti atau Nyonya Suparto, Endang Sarti atau Nyonya Muslimin, Endi Sukarto, Sukarjo, dan yang terakhir tak diketahui identitasnya karena meninggal sejak kecil.
Ayah Sukarni bermana Dimun Kartodiwirjo yang disebut merupakan seorang warok atau seseorang yang menguasai ilmu dalam kejawen. Ibunya bernama Supiah atau yang dikenal sebagai Mbah Garum.
Menurut silsilah, Sukardi merupakan keturunan dari Eyang Onggomerto. Sosok yang dikenal dengan nama Eyang Onggo tersebut merupakan pengawal setia Pangeran Diponegoro.
Sukardi mengecap pendidikan formal mulai dari HIS atau setara SD, MULO setara SMP serta Kweekschool atau sekolah guru dan Volks Universiteit atau universitas rakyat.
Sebelum masuk HIS, Sukarni sebetulnya pernah menempuh pendidikan di sekolah Mardisiswo yang setara dengan Taman Siswa di bawah bimbingan Mohamad Anwar yang merupakan pendiri Mardisiswo sekaligus tokoh pergerakan Indonesia.
Saat masih remaja, Sukarni dikenal sebagai sosok pembuat onar terutama terhadap orang-orang Belanda. Ia kerap mengajak berkelahi dengan anak-anak muda Belanda.
Pernah suatu kali ia mengumpulkan 30-50 teman-temannya lalu mengirim tantangan ke sejumlah anak muda Belanda untuk berkelahi hingga kemudian pecah tawuran antarkelompok tersebut.
Kiprah Perjuangan
Ketika usia 14 tahun, Sukarni sudah aktif di dunia pergerakan. Ia tercatat menjadi anggota Perhimpunan Indonesia Muda pada 1930. Selain itu ia juga mendirikan organisasi Persatuan Pemuda Kita.
Ketika di Perhimpunan Indonesia Muda, Sukarni mendapat kesempatan mengikuti sekolah pengkaderan di Bandung.
Ia berangkat ke Bandung atas rekomendasi dari kakak Soekarno yakni Ibu Wardoyo.
Di Bandung inilah momen kali pertama Sukarni bertemu dengan sosok Soekarno yang merupakan pengkadernya.
Di Bandung pula, Sukarni kemudian mengenal Wikana, Asmara Hadi hingga SK Trimurti.
Tahun 1934, Sukarni didapuk menjadi Ketua Pengurus Besar Indonesia Muda.
Dua tahun berselang, gerakannya dicurigai oleh pemerintah Belanda. Ia dan sejawatnya sempat digerebek oleh pemerintah kolonial ketika menggelar pertemuan.
Sukarni berhasil lolos dari sergapan dan menghilang dalam beberapa tahun. Tapi menjelang Jepang masuk ke Indonesia, pemerintah kolonial Belanda mampu menangkap Sukarni dan kawan-kawannya di Balikpapan. Mereka kemudian dibawa ke Samarinda.
Hanya saja penangkapan itu tak berlangsung lama, Sukarni dan sejawatnya dibebaskan ketika Jepang mengambilalih kekuasaan di Indonesia.
Di masa pendudukan Jepang, Sukarni sempat bekerja di kantor berita Antara yang didirikan Adam Malik.
Di masa inilah Sukarni kemudian bertemu Tan Malaka. Di kemudian hari Sukarni menjadi ketua umum partai bentukan Tan Malaka yakni Partai Murba.
Pada 1943, bersama Chairul Saleh, Sukarni memimpin Asrama Pemuda di Menteng 31, di sini ia giat mengasah para pemuda untuk berjuang memerdekakan Indonesia.
Peristiwa Rengasdengklok
Ketika Jepang menyatakan menyerah atas sekutu, kelompok pemuda yang dipimpin Sukarni mendesak Soekarno dan Hatta segera memproklamirkan kemerdekaan.
Kala itu, Soekarno dan Hatta menolak dan keukeuh menunggu janji Jepang yang akan menghadiahkan kemerdekaan kepada Indonesia.
Mengingat situasi yang mendesak, kelompok Sukarni pun melakukan penculikan terhadap Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok dengan tujuan menghindarkan dua tokoh pergerakan itu dari pengaruh Jepang.
Setelah sempat terjadi perdebatan sengit, Soekarno dan Hatta kemudian sepakat untuk merumuskan naskah proklamasi bertempat di kediaman Laksamana Maeda pada 16 Agustus 1945.
Sehari kemudian tepat pada hari Jumat 17 Agustus 1945 atas kesepakatan seluruh elemen pemuda dan golongan tua, Soekarno dan Hatta membacakan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia di kediaman Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur nomor 56.