wmhg.org – JAKARTA. Siapa yang tidak suka dengan minuman manis dalam kemasan? Minuman jenis ini sangat mudah ditemukan baik di toko swalayan, kios maupun restoran.
Minuman manis dalam kemasan atau bisa disebut minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) ini dapat berupa botol, kaleng atau kemasan lainnya yang mengandung gula tambahan atau pemanis buatan sehingga bisa diminum secara langsung.
Namun, semakin mudahnya jenis minuman tersebut ditemui membuat konsumsinya semakin tidak terkendali. Tak heran, harganya yang terjangkau membuat MBDK ini menjadi favorit semua kalangan dan menjadi opsi utama ketika ingin melepas dahaga.
Kendati begitu, konsumsi MBDK yang berlebih dalam jangka panjang bisa menyebabkan penyakit tidak menular (PTM) seperti obesitas, diabetes dan risiko kesehatan lainnya.
Jika pemerintah tidak mengambil tindakan secara tepat, permasalahan ini akan menjadi beban keuangan negara ke depannya. Oleh karena itu, Bea Cukai sebagai institusi negara yang berada di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tidak hanya berfungsi untuk mengoptimalkan penerimaan negara semata, namun juga memiliki peran untuk melindungi masyarakat Indonesia.
Dalam hal ini, Bea Cukai bisa menggunakan instrumen cukai untuk mengendalikan konsumsi gula berlebih khususnya di kalangan usia muda melalui kebijakan cukai MBDK. Namun, kebijakan tersebut tentunya harus dibahas bersama lintas kementerian terkait dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Cukai tidak hanya dipandang sebagai alat untuk menambah penerimaan negara semata, namun cukai juga menjadi instrumen fiskal yang berperan sebagai alat untuk mengendalikan konsumsi terhadap suatu barang.
Jika berbicara mengenai MBDK, maka cukai bisa menjadi instrumen untuk mengendalikan konsumsi gula berlebih yang bisa menyebabkan PTM seperti diabetes.
Ini sudah sesuai dengan sifat atau karakteristik Barang Kena Cukai (BKC), seperti konsumsinya perlu dikendalikan; peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
Sebenarnya, rencana pengenaan cukai MBDK sudah diwacanakan sejak tahun 2020 namun tidak kunjung diimplementasikan di Indonesia. Namun pemerintah kembali merencanakan pengenakan cukai MBDK mulai tahun 2025 yang tertuang di dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025.
Pengenaan cukai MBDK pun sebenarnya sudah banyak mendapatkan dukungan dari kalangan masyarakat, khususnya kalangan muda. Bahkan berdasarkan riset yang dilakukan Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), menunjukkan 80% responden atau setara 8 dari 10 orang sepenuhnya mendukung rencana pemerintah untuk mengenakan cukai pada setiap produk MBDK.
Ada dua sisi positif yang bisa diambil dari pengenaan cukai MBDK. Pertama, pungutan cukai MBDK bisa menekan prevalensi obesitas dan penyakit tidak menular seperti diabetes. Kedua, penerimaan yang terkumpul dari pengenaan cukai juga bisa dimanfaatkan untuk membiayai kebutuhan pemerintah di sektor lain, mulai dari infrastruktur hingga layanan publik.
Pemerintah juga bisa belajar dari negara tetangga yang sudah mulai terlebih dahulu menerapkan kebijakan cukai MBDK. Misalnya saja Kamboja dan Laos yang pertama memperkenalkan cukai MBDK pada tahun 1997 dan 2005.
Penetapan tarif yang moderat juga perlu dipastikan oleh pemerintah sehingga kebijakan cukai MBDK ini tidak mengganggu industri makan minuman (mamin) dan perekonomian secara nasional.
Meski begitu, dengan adanya kebijakan cukai MBDK ini diharapkan industri mamin bisa mereformulasi produk MBDK yang lebih rendah gula. Apabila hal tersebut terlaksana, maka produk MBDK yang beredar di swalayan, kios maupun restoran merupakan produk MBDK dengan kadar gula yang lebih rendah.
Selain itu, dengan pengenaan cukai terhadap produk MBDK juga akan dapat menurunkan tingkat konsumsi MBDK di masyarakat dikarenakan harga produknya yang otomatis juga akan ikut naik. Namun, tentu saja kenaikan produk MBDK ini tidak sebanding dengan beban pengeluaran negara untuk menangani penyakit tidak menular, seperti diabetes.
Berdasarkan catatan BPJS Kesehatan, terdapat sekitar 10,32 juta kasus rawat inap untuk penyakit diabetes melitus sepanjang tahun 2023. Dari banyaknya kasus tersebut, BPJS Kesehatan menggelontorkan biaya hingga Rp 10,17 triliun untuk menjamin peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Saat ini, kampanye untuk mendorong penerapan cukai MBDK sudah semakin digalakkan oleh masyarakat, khususnya anak muda. Dengan begitu, langkah pemerintah yang akan memberlakukan kebijakan cukai MBDK pada tahun depan merupakan langkah yang tepat, namun dengan tetap memastikan memulainya dengan tarif yang moderat dan mempertimbangkan keberlangsungan industri.